SATU

89.4K 2.5K 95
                                    

PART 1

"Malik!"

Suara teriakan Prissy menggema di penjuru kediaman Treandigo Jarec seperti biasa, membuat helaan napas terdengar di meja makan dekat dengan posisi wanita itu berada.

"Sayang, masih pagi kamu udah teriak-teriak," tegur Digo seraya mengoles selai kacang pada roti bakar.

Diserahkannya roti bakar yang sudah ia olesi dengan selai pada putri bungsunya yang duduk dengan tenang sembari menatap mamanya yang tengah mencak-mencak memanggil nama kakak mereka.

Dia, Arabella Sofia, gadis kecil berusia 8 tahun.  Gadis pemalu yang jarang bergaul dengan orang-orang kecuali dengan saudaranya.

Sementara di samping sang putri, Treandika Jarec duduk tenang dengan ekspresi datar khasnya. Bocah berusia 10 tahun itu memang tampak pendiam, tidak seperti kakak mereka, Malika Tresia Jarec yang selalu membuat ulah.

"Sabar gimana, Bang? Ini udah hampir jam 7 dan anak itu belum bangun juga!" Suara Prissy semakin keras membuat suasana semakin ricuh. Astaga. Pagi-pagi sekali jika tidak ada kericuhan seperti ini di kediaman Treandigo Jarec pasti akan ada banyak ayam tetangga yang mati, pikir Digo seraya mengelus dadanya.

"Malik!"

"Ya Allah, Abang. Bikin aku kaget aja  tahu!" Prissy mengelus dadanya karena terkejut mendengar suara teriakan suaminya itu.

"Aku cuma bantu kamu, Sayang," balas Digo santai, membuat Prilly mencibir kesal.

Tak lama kemudian, pintu kamar yang terletak di dekat ruang kelurga terbuka dan menampakkan sosok yang sejak tadi di panggil.

"Selamat morning, Mom, Dad, My sist, and my Brother. What sarapan morning this?" sapanya dengan bahasa campuran.

Malika dengan santai mengambil posisi duduk di samping Sofie dan mengambil sepiring nasi goreng yang sudah tersedia.

"Itu tangan enak bener langsung mau makan aja. Baca doa dulu." Prissy menepuk tangan Malika dan memelototi gadis itu dengan sangar.

"Hehe. Sorry, Mom, im forget." Malika nyengir membuat Prissy memutar bola matanya malas.

"Dika sayang, mau makan apa?" tanya Prissy mengalihkan perhatian pada putranya.

"Nasi putih dan ayam goreng aja, Ma. Terus, sambal ikan tri juga," jawab Dika yang segera di ambilkan Prissy.

Prissy kemudian beralih menatap putri bungsunya.
"Sofie nanti mama kasih bekal ya buat makan di sekolah. Makan roti cuma ganjal perut sementara," ujarnya pada Sofie yang langsung diangguki oleh gadis itu.

"Terima kasih, Ma," ucap Sofi pelan.

Prissy tersenyum dan mengangguk dua kali. Lalu, wanita itu mulai mengisi piring Digo dengan nasi goreng, sambal ikan tri, serta ayam goreng kesukaan sang suami.

Usai sarapan, mereka mulai keluar dari rumah dengan formasi lengkap.

Satu unit alphard putih adalah kendaraan mereka bersama.

Digo terlebih dahulu mengantarkan Dika dan Sofie ke sekolah dasar yang terletak tak jauh dari rumah. Kemudian ke kampus Malika, lalu kantor Prissy dimana istrinya itu menjabat sebagai direktur utama, dan terakhir dirinya yang akan menuju kampus tempatnya mengajar.

Kampus yang pastinya berbeda dengan kampus tempat Malika menuntut ilmu.

Turun dari mobilnya, Malika segera memasuki area kampus sembari sesekali membalas siulan cowok-cowok dengan kedipan matanya.

Meski statusnya sebagai mahasiswi baru di kampus ini, ketenarannya sudah menyebar di kalangan kakak tingkat atau sesama mahasiswa baru.

Malika tidak hanya terkenal dengan kecantikannya, tapi juga gayanya yang centil juga kian membuat namanya merambah kemana-mana.

Tapi, satu hal yang di sayangkan dari rupa cantik dan centilnya yaitu Malika merupakan tipe gadis yang menganut sistem senggol libas.

Contohnya seperti saat ini misalnya.
"Cewek enggak tahu malu. Sok kecantikan padahal cantik aja enggak," cibir seorang senior perempuan ketika Malika melewatinya begitu saja.

Malika kontan mendekati ketiga gadis yang mencibir tentang kecantikannya.

"Gue bukan sok kecantikan ya. Memang dasarnya gue cantik dan udah banyak yang ngakuin itu," ujarnya sembari berkacak pinggang. "Tampang gue dan elo juga jauuuh banget, Mbak. Enggak heran 'sih lo nge-ghibah gue karena lo sirik 'kan sama gue?" tandasnya menatap tiga senior tajam.

"Gue sirik sama lo, adik tingkat?" cibir gadis dengan rambut ikat satu. "Mimpi aja lo sana karena yang ada gue justru eneg sama lo," tambahnya seraya menyeringai tajam.

"Ha-ha! Ya ampun, Mbak senior, jelas-jelas lo iri sama kecantikan gue makanya sinis gitu sama gue." Malika menutup mulutnya sambil tertawa cekikikan. "Umur dua puluh tahun tapi mukanya udah kayak perawan kebelet kawin," cibirnya yang membuat senior itu berang.

Tangan sang senior terangkat berniat untuk menampar Malika, namun gadis itu lebih dulu menahannya dan memelintir tangan kurang ajar itu ke belakang.

"Jangan macam-macam lo sama gue. Bersyukur lo cuma perlu dateng ke tukang urut bukan dokter spesialis tulang," cibir Malika seraya mendorong senior perempuan itu hingga tersungkur ke lantai.

Malika menepuk kedua tangannya. Rambutnya ia kibaskan  seraya berbalik berniat untuk pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat satu sosok yang berada di ujung koridor.

"Mampus gue," gumam Malika horor.

Segera setelah itu ia berbalik pergi berusaha untuk bersembunyi dari seseorang yang tidak ingin dirinya membuat ulah.  Tujuannya adalah ke kantin, tempat yang relatif aman dari jangkauan orang itu.

Dih, siapa juga yang suka membuat ulah? Malika tidak akan membuat ulah jika tidak memakan umpan.

"Kenapa lo lari-lari, Malik?" tegur Abinaya Naomi putri, anak kedua Naya dan Abi.

Gadis cantik yang tengah mengenakan dres langsung warna navy di atas lutut itu tengah memperbaiki bedaknya yang mungkin saja sudah luntur karena terkena matahari.

"Ada Bang Bian. Gue males banget kalau dia tahu gue berantem sama kakak senior," sahut Malika malas. Gadis cantik yang mengenakan rok hitam sebatas lutut di padukan dengan jaket hitam miliknya itu bersandar nyaman di bangku kantin.

"Astaga, Malika. Kamu itu enggak boleh bertengkar seperti itu. Kamu gadis, loh, Malika. Enggak baik," tutur Abinaya Naura Putri. Cewek yang di juluki gadis karaton itu mulai menceramahi Malika yang harusnya bersikap seperti gadis pada umumnya. Jangan menyalahi kodrat wanita, katanya.

"Astaga, Naura. Kalau lo mau ceramah tentang kodrat wanita, mending lo ceramahin itu si Nayla. Noh, di sana," tunjuk Malika pada sekelompok anak yang duduk di pojok kantin.

Naura mengikuti arah yang ditunjuk oleh Malika. Gadis dengan pembawaan lembut itu kontan menutup mulutnya dengan dramatis ketika melihat kembarannya duduk berjongkok di kursi dengan banyak anak laki-laki yang mengelilinginya.

"Astaga, Nayla," ujarnya dengan suara lembut.

Segera setelah itu,  Naura bangkit berdiri berniat menghampiri adik kembarnya yang terpaut beberapa menit darinya.

Tujuan Naura apalagi jika bukan untuk menceramahi adiknya itu yang nantinya pasti akan merembet kemana-mana.

"Malik Malik. Dapet aja lo pengalihan dari penyakit ceramahnya Kak Naura," kata Naomi sembari terkekeh di ikuti oleh Malika tentunya.

"Ha-ha! Malika gitu lho!"

OMG! MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang