18

16.8K 1.2K 19
                                    

PART 18

Hari ini Bian sarapan seperti biasa bersama Rindo. Sembari sarapan, kedua pria muda itu membahas tentang kuliah Rindo yang memang di ambil pada hari sabtu dan minggu.

"Jadi, gimana sama kampus? Ada kesulitan?" tanya Bian disela perbincangan mereka.

Rindo menggeleng sebagai tanggapan. Pria muda itu tersenyum dan menjawab, "sampai sejauh ini masih aman-aman aja."

"Oh, iya? Terus gimana sama pekerjaan kantor lo?"

Rindo terdiam mendengar pertanyaan Bian yang acap kali ia hindari. Namun, melihat tatapan menyelidik Bian, membuat Rindo menghela napas dan tak berniat untuk berbohong.

"Biasa aja. Gue masih anak baru dan mungkin sering dikerjai buat melakukan hal yang enggak berhubungan dengan pekerjaan."

"Sorry, kalau soal itu lo harus selesaikan sendiri masalahnya karena gue enggak bisa bantu," gumam Bian. "Gue enggak mau orang kantor tahu kalau gue dan lo saling kenal."

Bian menatap tajam Rindo yang tersenyum kecil mendengarnya.
"Gue paham kok."

"Enggak. Lo enggak paham." Bian menggeleng tegas membuat Rindo menatapnya tak mengerti.

"Maksud lo?"

"Gue mau lo kejar target buat tahun depan supaya bisa naik jabatan dari staf biasa jadi kepala staf."

Seketika itu Rindo membulatkan matanya mendengar pernyataan Bian.
"Mana bisa kayak gitu," sanggahnya tak mengerti dengan jalan pikiran Bian.

Di kira naik jabatan sama seperti naik tangga, begitu? Batin Rindo berujar.

"Kalau orang tahu lo dan gue saling kenal, entar gue dianggap nepotisme. Lo naik jabatan ke depannya nanti dianggap karena bantuan gue. Padahal itu hasil kerja lo sendiri." Bian menjeda kalimatnya sebentar. "Gue mau tahun depan lo naik jabatan. Gue mau sebelum umur lo 30 tahun lo harus jadi manajer di kantor gue, Rin," lanjutnya membuat Rindo terbelalak.

"Mana bisa gue kayak gitu, Bi. Ini semua proses," elak Rindo disambut senyum lebar Bian.

"Karena itu lo harus menikmati dan menjalani prosesnya."'

Bian bangkit dari duduknya kemudian menatap Rindo tegas. "Umur lo udah dewasa. Lo butuh istri dan anak. Lo juga butuh materi buat masa depan lo. Jangan terlalu santai. Pikirin umur lo semakin matang," ucap Bian. "Motor lo sore ini datang. Kalau lo enggak mau terima barang dari gue, lo bisa cicil setiap bulan dengan gaji lo."

"Bi--"

"Gue berangkat, Rin. Malik udah nunggu gue," pamitnya dan berlalu begitu saja, meninggalkan Rindo yang tak tahu harus bersikap bagaimana.

Bian dan otoriternya semua demi kebaikan Rindo. Dan, Rindo terharu dengan apa yang di lakukan sahabatnya itu padanya.

Sampai di kediaman Malika, Bian segera turun dari mobilnya dan menghampiri Malika yang sudah siap di depan rumah dengan kursi rodanya.

"Pagi, Sayang. Gimana? Jadi, ikut aku ke kantor?"

Bian tersenyum manis menatap pacarnya yang terlihat cantik mengenakan dres merah muda di bawah lutut hingga menutupi paha mulusnya. Mungkin jika Malika berdiri, maka dres yang ia kenakan akan sebatas betis kakinya.

"Jadi dong, Bang. Aku 'kan mau kawal abang 25 jam biar abang enggak di ambil sama mbak-mbak pelakor," sahut Malika bersemangat.

Gadis cantik itu mengepalkan tangannya di udara dengan senyum lebar yang mengembang di bibirnya sehingga membuat Bian terkekeh.

"Pacarnya abang bisa saja." Bian mengacak rambut Malika dan menatanya kembali dengan rapi agar gadis itu tidak mengomelinya.

Perjalanan dari rumah menuju kantor Bian hanya membutuhkan waktu selama 46 menit.

Bian segera membantu Malika turun dari mobil dan mendudukannya di kursi roda.

Bian mendorong kursi roda yang diduduki Malika hingga mereka memasuki loby kantor yang sudah terlihat ramai.

"Bang, langsung ke ruangan abang?" tanya Malika, membuat Bian menghentikan dorongannya sejenak.

"Kenapa memangnya, Sayang?" tanya Bian.

"Mau makan, Bang. Aku lapar. Tadi enggak sempat sarapan."

"Ya sudah kita ke kantin sekarang."

Bian mendorong kursi roda Malika hingga mereka tiba di kantin.

Satu piring nasi dengan ayam kecap adalah menu sarapan Malika pagi ini.

Bian dengan sabar menemani pacarnya yang makan dengan lahap. Bahkan, tanpa sungkan, Malika menjilat jarinya yang berlumuran sambal kecap.

"Enak." Malika tersenyum lebar. Gadis itu mencubit sedikit daging ayam di piring dan di arahkan pada mulut Bian yang langsung terbuka.

"Iya, enak. Apalagi kalau kamu yang nyuapin abang." Bian tersenyum lebar begitu juga dengan Malika. "Kamu ada jam kuliah jam berapa hari ini?" tanyanya di sela-sela makan mereka.

Terlihat Malika mengerut keningnya seolah tengah berpikir. Kemudian, gadis ini menjawab, "jam 12, Bang."

"Oh, oke. Nanti abang anter kamu ke kampus, ya."

"Sip, Bang."

Namun, niat Bian yang ingin mengantarkan Malika jam 12 harus tertunda karena tepat pada pukul 12, Bian mendapat telepon dari sekolah Sofie yang meminta Bian untuk datang ke sekolah.

"Sofie kenapa ya, Bang?" Malika menatap Bian yang tengah menyetir di sampingnya.

Malika takut terjadi sesuatu yang tak di inginkan pada adik bungsunya itu.

Meskipun Sofie bukan adik kandungnya, Malika dan keluarga sangat menyayangi gadis kecil itu.

Sofie yang anggun. Sofie yang lembut, dan Sofie yang penurut mampu membuat orang lain menyukainya.

"Abang enggak tahu, Sayang. Kita langsung ke sekolahnya dulu dan tanyakan langsung pada Sofie." Bian menggenggam tangan Malika yang terasa dingin.

Sofie adalah adiknya. Adik kandungnya yang meski berbeda tempat tinggal, tapi tetap saja Bian tetap memperhatikan adiknya itu.

Sofie dibesarkan di keluarga yang sangat menyayanginya. Sofie tidak pernah kekurangan kasih sayang orangtua angkat mereka. Dan, Sofie kecil sudah mengetahui jika dirinya bukanlah anak kandung dari Digo dan Prissy.

Sofie, gadis kecil yang sudah dewasa sebelum waktunya.

Sesampainya di sekolah, Bian membantu Malika turun dari mobil dan mendudukkan gadisnya di kursi roda. Setelah itu Bian mendorong kursi roda Malika menyusuri koridor yang sudah ramai oleh murid-murid.

Saat ini adalah jam istirahat membuat suasana koridor ramai dengan murid-murid yang berlarian saling mengejar atau berbincang bersama teman mereka.

Tempat Sofie menuntut ilmu adalah sekolah dasar terbaik di Jakarta. Banyak orang-orang dari kalangan menengah atas yang menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang sudah bertaraf internasional tersebut.

Bian mengetuk pintu ruang kepala sekolah dan membukanya ketika seruan dari dalam untuk memintanya masuk.

Bian mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan dimana terlihat kepala sekolah, empat orang wali murid, dan empat orang murid perempuan serta laki-laki yang tengah duduk di sofa yang tersedia. Hanya Sofie saja yang berdiri dengan kepala tertunduk di pojok ruangan.

"Selamat siang."

Serentak orang-orang yang berada di dalam ruangan menoleh ke arah Bian dan juga Malika.

"Kak M-malika?" seru Sofie terkejut. Wajahnya pucat pasi melihat abangnya tidak datang sendiri, melainkan bersama Malika.

Malika adalah orang kedua yang tak ingin Sofie beritahu kondisinya setelah mamanya.

Karena cara Malika menyelesaikan masalah hampir sama dengan cara mamanya menyelesaikan masalah.

Bar-bar.

OMG! MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang