14

17.5K 1.2K 44
                                    

PART 14

Malika sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah seminggu lamanya ia mendekam di kamar rawat.

Seminggu ini pula Bian tidak jauh-jauh dari Malika. Pria berusia 25 tahun itu dengan setia menemani Malika dan menginap di rumah sakit.

Bian mendorong kursi roda yang di duduki Malika menyusuri koridor rumah sakit. Sesekali pria itu mengajak Malika untuk berbincang dan keduanya akan tertawa saat Malika melontarkan leluconan.

Orangtua Malika sudah pergi lebih dulu katanya untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan Malika di rumah. Seperti contohnya makanan untuk menyambut kepulangan Malika dari perantauan. Perantauan rumah sakit, maksudnya.

"Bian." Panggilan seseorang membuat Bian menghentikan langkahnya.

Kedua pasangan itu serentak menoleh menatap perempuan yang saat ini tengah menggendong seorang anak kecil berusia 4 tahun. Anak kecil itu terlihat lesu dengan wajah pucat.

"Arin? Kamu ngapain di sini? Dan dia--" Bian melirik anak perempuan itu dengan pandangan bertanya.

"Oh, dia Lita. Anak perempuanku." Arin tersenyum seraya mendekati sosok mantan pacarnya itu. "Kamu di sini juga?" tanyanya tak melirik Malika sama sekali.

"Iya. Pacar saya habis kecelakaan dan ini kami mau pulang," jawab Bian seraya menatap kepala Malika.

Aura tak mengenakan sudah menguar dari tubuh Malika. Itu tandanya Malika ingin segera cepat-cepat pergi.

Mendengar itu, Arin tersenyum lembut.
"Ah, iya, Bian. Boleh aku nebeng mobil kamu? Soalnya aku enggak bawa kendaraan dan anakku sekarang agak rewel." Arin menatap Bian melas berharap pria itu mau memberikannya tumpangan.

Bian terlihat bingung. Mau memberi tumpangan tapi bagaimana dengan Malika? Tidak diberi kasihan juga anaknya Arin.

"Sayang, gimana boleh enggak Mbak Arin ikut sama kita?" Bian menundukkan kepalanya menatap Malika yang menatap lurus ke depan.

Terlihat Malika mengangguk membuat Bian menghela napas lega dan Arin yang tersenyum senang.

Setibanya di parkiran, Arin tanpa malu mengambil posisi duduk di depan --samping kemudi-- sehingga membuat Malika segera memelototi wanita itu.

"Maaf, ya, anak aku enggak bisa duduk di belakang. Dia bisa muntah-muntah kalau duduk di belakang." Arin tersenyum tak enak menatap Bian yang terlihat bingung.

Malika mendengkus keras mendengar ucapan Arin.
"Mbak harus sadar diri dong kalau numpang di mobil orang. Jangan gegayaan sok berkuasa seolah mbak yang punya mobil," sungut Malika tak menutupi kejengkelannya.

"Bian, bolehkan aku duduk di depan? Anakku enggak biasa duduk di belakang." Arin tak merespon ucapan Malika dan justru mengalihkan perhatiannya pada Bian.

"Kalau abang masih izinin perempuan ini duduk di depan, aku bakal hubungi papa buat jemput aku," ancam Malika melirik Bian sengit. "Syukur-syukur aku izinin naik mobil ini dan di kasih tumpangan. Eh, malah minta lebih. Manusia, ck." Malika berdecap menatap Arin malas.

Arin menoleh dan tersenyum manis menatap Malika yang masih dengan tenang duduk di kursi roda.
"Bian, kamu yang tentukan pilihan ya. Soalnya ini mobil kamu. Kamu enggak mungkin tega 'kan lihat anakku muntah-muntah di dalam mobil," kata Arin dengan suara lembutnya.

"Sayang banget, Mbak," celetuk Malika ketika Bian berniat buka mulut. "Ini mobil punya aku. Mobil yang di beli sama oma waktu ulang tahunku yang ke 17."

Rona merah karena rasa malu terlihat begitu jelas di pipi Arin dari rumah sakit sampai mereka berada di perjalanan menuju rumahnya.

Sungguh, jika ia tahu mobil yang ia tumpangi saat ini adalah mobil bocah menyebalkan itu, Arin tidak akan mengambil risiko menumpang di mobil ini. Lebih baik ia menunggu Shela menjemputnya dari pada harus berada di kursi belakang dan melihat Malika duduk tenang di depan bersama Bian.

OMG! MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang