ENAM

23.9K 1.5K 28
                                    

PART 6

Tatapan Rindo beralih pada sosok gadis yang berdiri di samping Bian.

"Siapa?" tanyanya pada Bian.

Bian tersenyum dan menarik Malika agar mendekat padanya.

"Kenalin, dia Malika. Pacar gue satu tahun ini," ucapnya memperkenalkan Malika.

"Malika."

"Rindo."

Keduanya saling memperkenalkan diri dan membalas senyum masing-masing.

"Mau ke jenjang yang lebih serius?" Rindo menatap sahabatnya dengan sebelah alis terangkat.

"Iya. Gue rencana ajak ke pelaminan waktu Malik usia 20 tahun," jawab Bian mantap.

Sementara Malika sudah pergi ke stand makanan hingga membuatnya tak mendengar perbincangan Bian dan sahabatnya.

"Lo udah ngomong sama orang tuanya?"

"Udah." Bian mengangguk mantap. "Orang tuanya setuju gue sama anak mereka meski mereka tahu gue anak broken home."

"Lo bersyukur kalau gitu. Gue justru putus sama pacar gue karena dia dan keluarganya tahu kalau gue bukan anak orang kaya dan sekarang pengangguran." Rindo tersenyum miris. "Gue bersyukur Tuhan nunjukin siapa mereka setelah gue jatuh sejatuh-jatuhnya. Selama ini mereka kira gue anak orang kaya karena kebetulan mantan gue itu teman SMA kita."

"Terus?"

"Satu tahun gue pacaran dan dia mulai minta ini itu ke gue. Enggak pernah gue sanggupin barulah dia tahu gue orang miskin."

Rindo terkekeh mengingat mantan pacarnya itu. Padahal berita bangkrutnya perusahaan ayahnya sudah menyebar ke sesama alumni SMA mereka. Tapi, mungkin mantan pacarnya tidak tahu dan masih menganggap jika dirinya masih anak orang kaya.

"Lo harus sabar dan cari cewek yang mau sama lo dan hidup bareng lo dalam suka maupun duka," ucap Bian menepuk pundak Rindo lagi. "Gue tawarin kerja di perusahaan gue, lo mau?" tawar Bian membuat Rindo terbelalak.

"Memang bisa? Gue cuma lulusan SMA. Baru satu tahun gue menjalani pelatihan TNI waktu musibah keluarga gue datang."

"Bisa. Tapi, lo cuma jadi staf biasa. Gue biayain kuliah lo sampai tamat. Gue juga bakal lihatin kinerja lo. Kalau bagus, lo bisa naik jabatan," ujar Bian membuat Rindo terbelalak tak percaya.

"Kenapa lo baik sama gue, Bi?"

"Karena lo juga baik sama gue," sahut Bian santai. "Gue tahu jadi pekerja kantoran bukan cita-cita lo, tapi kita harus kerjasama sama hidup. Jangan terpaku sama satu titik. Biar lo enggak bisa sukses di bidang yang lo minati, lo bisa sukses di bidang lain," tambahnya membuat Rindo tersenyum haru. Ia juga sudah melupakan cita-citanya untuk menjadi anggota TNI.

"Sekali lagi terima kasih, Bi. Gue beruntung punya sahabat kayak lo."

Sementara itu, Malika yang masih berada di stand makanan terus mengambil menu apa saja yang ia mau.

Sungguh, andaikan piring yang berada di tangannya berukuran besar, maka ia  tidak perlu repot-repot mengulang mengambil apa yang ia mau untuk masuk ke dalam perutnya. Kalau piringnya besar kan Malika bisa sekali ambil langsung banyak, pikir gadis itu keki.

"Orang kampung kelaparan enggak pernah ngerasain makanan enak," cibir sebuah suara membuat Malika menoleh.

Malika mendengkus sembari memutar bola matanya melihat sosok Arin dan Shella yang melihatnya dengan tatapan jijik.

"Ada masalah, Mbak?" Malika menatap Shella sengit seraya memasukkan buntalan batagor ke dalam mulutnya. Sungguh, menu makanan di sini itu menu khas kantin sekali.

Ada siomay, batagor, tahu, gorengan, bakso, soto, dan masih banyak lagi menu makanan khas kantin.

"Enggak 'sih. Kok gue heran aja gitu Bian mau sama lo. Cantik enggak, kampungan dan dusun iya." Shella melipat tangannya di dada sementara Arin tetap berdiri dengan tenang seraya menatap sahabatnya yang tengah beraksi.

"Hoho!" Malika meletakkan piringnya di atas meja, kemudian ia berbalik dan memutar tubuhnya dengan gerakan anggun nan menggoda.

"Coba kalian lihat gue, apa gue kelihatan kurang cantik dan kampungan?" Malika menyeringai menatap keduanya tajam. Saat ini mereka tengah menjadi pusat perhatian orang-orang termasuk Bian dan Rindo.

"Cewek lo, Bi." Rindo menatap Bian sedikit cemas.

"Biarin. Satu jam Malik enggak bikin ulah,  gue baru panik," ucap Bian santai.

"Malik?" Kening Rindo mengernyit tak mengerti.

"Malika, panggilnya Malik. Orang enggak ganggu dia aja dia suka gangguin apalagi orang  yang memulai."

Hampir semua sifat dan sikap pacarnya itu Bian sudah tahu. Jadi, tak heran jika Malika akan membuat ulah. Satu jam tidak membuat ulah sepertinya Malika akan kejang-kejang.

"Omg! Gue itu cantik pakai banget. Masih muda dan fresh! Coba lihat kalian berdua?" Malika menatap kedua gadis di depannya dengan pandangan menilai. "Umur 25 tapi kayak umur 35 tahun. Beruntung banget tahu enggak kalau Bang Bian itu punya pacar kayak gue. Sedangkan lo berdua? Siapa kalian mau menghina gue?" cerca Malika pedas. Kalau emaknya tahu ia bersikap seperti ini pasti wanita yang tak lain adalah ibunya akan menariknya ke tempat ruqyah.

Marah mendengar ucapan Malika yang dianggap sudah menghinanya, Shella dengan kasar meraih satu gelas wine dan disiram langsung ke wajah Malika.

Malika dan tamu undangan spontan melongo melihat aksi Shella yang di rasa tidak berkelas karena membully perempuan yang tidak seusia dengannya.

"Rasain lo."

Bukannya merasa bersalah, Shella justru tersenyum lebar melihat lawannya yang sudah mirip dengan tikus kecebur got. Namun, senyum gadis itu membeku ketika merasakan sesuatu yang hangat dan basah tidak hanya mengenai kepalanya saja tapi mengalir ke bawah hingga jatuh mengenai kakinya sendiri.

"Kalau mau main siram-siraman jangan tanggung-tanggung, ya? Contoh gue," ujar Malika setelah meletakkan wadah bekas siomay tadi.

"Bye!"

Malika berbalik santai seraya melambaikan tangannya meninggalkan Shella yang tengah di tertawakan para tamu undangan karena tubuhnya yang berlumuran siomay dan bumbunya.

Malika memang tidak tanggung-tanggung.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Bian ketika Malika tiba di depannya.

Bibir Malika mengerucut sebal menatap Bian dengan tatapan melas yang membuat Malika mirip seperti kucing kecebur got.

"Temannya abang rese. Masa aku disiram pakai minuman haram? Kalau mama tahu, bisa ngamuk mama," adunya yang disambut kekehan Bian.

"Sama-sama tersulut emosi. Mama juga enggak akan tahu kalau kamu enggak ngadu," ucap Bian lembut.

Bian dengan teliti mengusap wajah pacarnya dengan tisu. Kemudian di kecupnya kening Malika hingga membuat gadis itu merona dan bersikap malu-malu.

"Tumben kamu normal begini? Biasanya kamu kalau abang cium justru noyor hidung abang." Bian terkekeh meski ia sendiri heran mengapa gadisnya bersikap tak biasa seperti ini.

"Ish, aku 'kan lagi mendalami peran, Bang."

"Peran apa?" Kening Bian mengerut tak paham,  sementara Rindo di sampingnya juga tak kalah bingung.

"Peran jadi kucing lembut dan pemalu di depan mantan pacar abang yang cantiknya enggak lebih dari aku."

Bian melongo, begitu juga dengan Rindo yang tiba-tiba merinding sendiri mendengar nada tajam Malika.

"Astaga, Malik. Jadi, kamu cemburu kalau abang ketemu mantan abang?" tanya Bian tak percaya.

"Bukan cemburu, Bang, tapi enggak suka aja!" Malika memelototi Bian kesal. Dirinya tidak mau disebut sebagai pencemburu, titik.

"Iya-iya abang ngerti. Kamu enggak suka kalau abang ketemu mantan abang karena kamu cemburu."

"Ish, Abang."

OMG! MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang