16

22.1K 1.4K 47
                                    

PART 16

Bian mendorong kursi roda Malika menuju kelas gadis itu yang akan di mulai beberapa saat lagi.

Beberapa orang memperhatikan gerakan keduanya sehingga mereka menjadi pusat perhatian.

Bisik-bisik mulai terdengar, namun keduanya bersikap tak peduli.

"Bang, makan siang nanti kita ke mana?" tanya Malika di sela perjalanan mereka.

Bian diam sebentar. Ini masih pukul 10 pagi dan Malika justru membahas soal makan siang.

"Terserah kamu, Malik. Abang ikut kamu aja. Abang 'kan ada di bawah kamu sekarang."

Katakanlah Bian bodoh yang membuat dirinya dengan rela diatur oleh Malika atau membuat ia menjadi di bawah, sementara Malika mengatur semua tentangnya di atas. Tapi, ketika mengingat saat-saat Malika yang ditemukan dalam kondisi babak belur dan tidak sadarkan diri dengan luka penuh darah, Bian tidak akan sanggup lagi. Melihat itu rasanya dunia Bian sudah hancur lebur apalagi jika Malika pergi untuk selama-lamanya, Bian pun tak sanggup untuk membayangkannya.

"Bang, oy Bang!"

Bian tersadar ketika mendengar suara teriakan Malika dan pukulan pada tangannya. Bian menghentikan dorongan seketika dan menatap Malika yang kini tengah memelototinya dengan mata menggemaskan miliknya.

"Kelas aku sudah lewat, Bang."

Bibir Malika mencibik lucu dengan ekspresi menggemaskan, membuat Bian menatap sekeliling dan seketika itu ia tersenyum.

"Maaf ya, Sayang. Abang khilaf. Ya udah, ayo, abang bawa kamu lagi ke kelas. Kita puter balik," kata Bian memutar kembali kursinya.

"Abang ini pasti lagi mikirin pahanya Bu Tiara 'kan?" tuduh Malika membuat Bian seketika menghentikan langkahnya.

"Astaga, Malik. Kok kamu mikirin itu? Memang kenapa dengan pahanya Bu Tiara? Abang enggak ada lirik-lirik kok," elak Bian kembali mendorong kursi Malika.

"Abang kira aku buta enggak lihat abang beberapa kali lihatin pahanya Bu Tiara. Putih, mulus." Malika mencerca Bian karena rasa cemburu yang menggelayut di hatinya.

"Abang lihat bukan karena putih mulusnya, Malik. Abang cuma mikir, kalau kamu yang pakai rok setengah paha kayak gitu, udah pasti abang cubit paha kamu."

"Ish, main cubit-cubit aja. Abang 'kan cowok," cibir Malika yang disambut kekehan Bian.

"Abang enggak suka berbagi. Makanya lebih baik abang cubit paha kamu dari pada kamu lihatin ke orang lain." Bian menyahut santai.

Tak lama Bian mulai mengetuk pintu kelas Malika yang sudah tertutup. Tak lama pintu terbuka dan menampilkan sosok Pak Eko yang menjadi dosen di kelas Malika kali ini.

"Selamat pagi, Pak. Maaf, saya datang mau mengantarkan Malika ke kelas." Bian menyapa ramah seniornya yang sudah puluhan tahun menjabat sebagai dosen di universitas ini.

Pak Eko adalah dosen paling senior di universitas ini. Pria paruh baya itu sudah lebih dari dua puluh tahun mengabdikan dirinya untuk mendidik generasi muda yang siap untuk sukses.

"Ya, Pak Bian. Saya memaklumi ini. Apalagi mahasiswi kalkulator saya ini baru di timpa musibah," sahut Pak Eko dengan ramah.

Pak Eko adalah dosen yang mengajarkan mata pelajaran matematika untuk semesteran awal, kedua, ke empat, dan akhir. Pria paruh baya itu selalu menjuluki Malika dengan kalkulator berjalan karena kecepatan dan ketepatan menghitung Malika sangat benar dan akurat.

Bian tersenyum menanggapinya. Pria itu kemudian izin masuk untuk mendorong kursi roda Malika.

Setelah menempatkan Malika di kursi kosong, Bian segera keluar dari kelas dan berpesan pada Malika jika ia akan menjemputnya nanti.

                 *****

Bian mendorong kursi roda Malika ketika mereka memasuki sebuah restoran mewah yang terletak tak jauh dari kantor Bian.

Tatapan pria itu mengedar mencari kursi kosong yang segera ditemukannya.

Restoran saat ini sedang ramai pengujung dan membuat beberapa pelayan tak bisa melayani mereka dengan menunjuk kursi kosong.

Bian mendorong kursi roda Malika menuju meja yang berada sedikit di pojokan. Pria itu menggeser sedikit kursi restoran dan menempatkan Malika pada posisi yang benar.

"Sayang, mau pesan apa?" tanya Bian sembari membuka buku menu.

"Nasi putih, rendang, sama tumis cumi pedas. Minumnya air putih dan jus mangga," kata Malika menyebutkan menu kesukaannya.

Bian mengulang pesanan Malika pada pelayan, begitu juga dengan dirinya yang memesan nasi putih dan beef steak serta satu gelas ekspreso yang menjadi minumannya.

Keduanya berbincang ria sembari sesekali tertawa ketika mendengar celotehan Malika tentang Pak Eko yang memaksanya mengerjakan soal di papan tulis.

Pak Eko lupa jika Malika tidak bisa berdiri tegap dan hanya duduk di kursi roda sehingga ketika tangannya memegang spidol berniat untuk menulis jawaban, tangannya tidak bisa menyentuh papan yang memang tinggi.

"Kamu, ih." Bian dengan gemas mencubit pipi Malika yang langsung mendapat dengkusan sebal gadis itu.

"Cubit sekali lagi aku denda sepatu boots keluaran terbaru ya, Bang," ancam Malika disambut kekehan Bian.

"Kalau cium bibir kamu lagi, abang kena denda apa?" goda Bian sambil tersenyum manis.

"Bawa adek ke KUA kalau begitu, Bang," celetuk Malika santai.

"Beuh, kamu lagi kode abang, hm?"

"Idih. PD amat, Bang. Tanpa aku kasih kode, abang memang ngebet mau nikahin aku."

"Ish, Malik, kamu kok--"

"Bian Bagaskara?" sela sebuah suara terdengar ragu.

Sontak Malika dan Bian mendongak menatap sepasang suami istri yang tengah berdiri di samping meja mereka.

Bola mata Bian membulat melihat sosok pria yang sangat ia benci dari beberapa tahun yang lalu.

Sosok yang masih terlihat gagah dan penuh wibawa dan menjadi daftar urutan pertama orang yang di benci Bian.

Sosok yang ia panggil dengan sebutan 'ayah' dulu sekali.

"Pak Hermawan. Apa kabar, Pak?" sapa Bian setelah mengendalikan emosinya.

"Bian, ini ayah," ujar pria paruh baya bernama Hermawan. "Kamu enggak lupa 'kan sama ayah? Saya ayah kandung kamu," cerca Hermawan menatap Bian antusias. Pasalnya sudah lama ia tidak bertemu dengan putranya setelah dulu ia usir dari rumahnya beberapa tahun lalu.

Sekarang lihat, penampilan Bian sudah terlihat seperti eksekutif sukses di lihat dari pakaian yang dikenakannya.

"Oh, tentu saja saya enggak pernah lupa dengan Anda, Pak Hermawan. Apalagi--" Bian melirik wanita paruh baya di samping Hermawan dengan senyum mengejek. "Dengan kejadian beberapa tahun yang lalu," tambahnya membuat tubuh kedua pasangan itu menegang.

"Ah, sudahlah Bian. Itu hanya masalalu. Tidak bisa di ulang lagi. Kita hanya perlu melangkah ke depan dan melupakan masa lalu."

Tanpa permisi, Hermawan membawa istrinya untuk duduk berhadapan dengan Bian dan gadis yang tengah duduk di kursi roda.

Kening Hermawan mengernyit menatap gadis itu lalu beralih menatap Bian yang terang-terangan menatap mereka tak suka.

"Siapa dia, Bian?" tanya Hermawan basa-basi.

"Pacar saya." Bian menyahut datar. Tidak ada ekspresi saat ini sehingga membuat Malika yang berada di sampingnya menyimpulkan jika pria paruh baya di hadapan mereka saat ini adalah ayah kandung Bian dan Sofie.

"Pacar kamu cacat?" Wanita bernama Silvi itu menatap Malika yang tengah duduk di kursi roda.

"Kayaknya bukan urusan tante deh," gumam Bian yang disambut pelototan Hermawan.

"Jaga bicara kamu, Bian. Dia adalah ibu kamu." Hermawan menegur putranya yang tidak sopan pada Silvi.

"Dia bukan arwah. Dia masih bentuk manusia. Jadi, dia bukan almarhumah ibu saya."

OMG! MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang