17

19.2K 1.3K 22
                                    

PART 17

"Abang enggak apa-apa?" Malika melirik Bian yang tengah memfokuskan pandangannya pada jalan di depan.

"Abang memang kenapa, Sayang? Abang enggak kenapa-kenapa kok." Bian menyahut menatap Malika yang duduk di sampingnya.

Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Malika setelah pulang dari restoran tadi.

"Ya, kali aja abang kepikiran sama bapaknya abang gitu," sahut Malika acuh. "Padahal aku berharap abang akan baku hantam sama bapaknya abang waktu ketemu tadi," timpalnya disambut dengkusan Bian.

"Malik, meskipun abang kecewa dan benci banget sama bapaknya abang, tapi abang enggak ada niat buat mukul beliau."

"Ya kali. Kalau aku jadi abang sih, enggak bakal deh aku mau nyapa. Lebih baik pura-pura enggak kenal aja," sahut Malika tak mau kalah.

"Itu 'kan kamu bukan abang." Bian melirik pacarnya sebentar. "Kalau abang sudah dewasa dan pikirannya juga sudah matang. Beda dengan kamu, Sayang."

"Iyalah. Makanya abang mau sama aku karena selain cantik, imut, dan menggemaskan, aku juga fresh dan masih muda," sahut Malika dengan penuh percaya diri. Selalu itu senjata yang ia banggakan atas keberuntungan Bian yang memiliki pacar cantik dan muda seperti Malika Tresia Jarec.

Sesampainya di rumah, Bian segera membantu Malika turun dari mobil setelah menyiapkan kursi roda untuk pacarnya.

"Kok sepi ya, Bang?" tanya Malika saat mereka memasuki rumah.

Pintu rumah tidak di kunci, namun orang-orang rumah tidak terlihat, membuat Malika dan Bian mengernyit heran.

"Bentar, abang hubungi mama dulu," kata Bian seraya mengeluarkan ponsel miliknya.

Tak lama setelah menghubungi mama Prissy, Bian menatap Malika yang juga membalas tatapannya.

"Mama dan yang lainnya ada di rumah mami Naya. Mereka lagi merayakan kedatangan sepupunya papi Abi," kata Bian membuat Malika bersemangat.

"Ayo, Bang, kita kesana. Aku pengen lihat keponakannya papi. Cantik aku atau dia," suruh Malika bersemangat.

Kata Naura, sepupu mereka itu perempuan. Sudah pasti Malika penasaran ingin melihat wajahnya.

"Yakin?" Bian menatap Malika tak yakin, namun pacarnya itu justru mengangguk pasti.

Tak mau berdebat, Bian mendorong kursi roda menuju rumah Naya yang tak jauh dari kediaman Prissy dan Digo.

Tidak sampai dua menit, mereka tiba di depan rumah Naya dan memasuki rumah besar tersebut.

"Yuhu! I'm coming! Malika' here! Woy, pada enggak mau nyapa si bidadari cantik apa?" Suara teriakan Malika menggema di penjuru rumah membuat orang-orang yang berada di dalam ruang keluarga mendengkus.

"Malik! Enggak usah teriak-teriak. Ini bukan hutan!  Kamu kayak orang utan aja teriak-teriak terus!" Terdengar suara balasan teriakan dari Prissy menggema di ikuti dengan suara Naya.

"Prissy! Rumah gue bukan goa, woy!  Mana ada teriak-teriak di rumah gue! Enggak malu apa lo sama anak sepupu laki gue?"

Malika terkikik mendengar teriakan-teriakan mami dan mamanya.

Saat memasuki ruang keluarga, seluruh anggota keluarga sudah berkumpul dan duduk di karpet lantai membentuk kelompok dengan usia mereka.

Arka menatap Malika sinis. Dari tadi ia mencari iblis kecil itu tapi yang di cari tengah asyik berpacaran.

Arka 'kan jadi sebal melihatnya. Mana tadi ia sempat bertengkar dengan si tukang kredit itu lagi. Mengingat itu membuat Arka mendengkus.

"Baru pulang lo? Seingat gue lo ngilang di kampus udah beberapa jam lewat," tegur Arka sinis.

"Orang sirik, mukanya makin jelek. Biarkan saja. Jangan dengarkan," timpal Malika santai, membuat Arka semakin memelototinya.

"Pa!" panggil gadis itu tak tahu malu. Papanya yang dipanggil menoleh dan tersenyum menatap anaknya yang masih menggunakan kursi roda.

"Kenapa, Sayang?"

Digo bangkit berdiri menghampiri Malika.  Sementara Prissy melanjutkan obrolannya dengan Naya dan Alify.

"Mana sepupunya Naura? Cantik aku apa dia?" Malika mendongak menatap papanya.

"Cantik Malik kok. Malik 'kan anak ayah yang paling cantik," sahut Digo seraya mengusap kepala putrinya dengan sayang.

"Sama Sofie?"

"Ya cantik Sofie," sahut Digo membuat bibir Malika mengerucut sebal.

"Sofie terus perasaan yang cantik," gerutunya disambut kekehan Digo.

"Sofie memang lembut. Mirip Putri keraton. Itu pasangannya sama Naura," ucap Digo melirik Naura yang tengah berbincang dengan gadis asing.

Malika memicingkan matanya melihat gadis asing yang tengah berbincang bersama Naura dan Rora.

Gadis bertampang bule itu memang cantik dan terlihat seusia dengan Bian. Segera bibir Malika mengerucut karena ternyata gadis itu sangat cantik melebihi dirinya.

"Ingat, ya, Bang, abang enggak boleh jatuh cinta sama cewek itu." Malika menepuk tangan Bian keras. "Abang dekat sama cewek itu, aku pastikan abang akan aku santet onlen."

"Abang ini setia, Malik. Mana ada abang mau lirik cewek lain kalau hati dan cinta abang cuma buat Malik seorang."

"Ea!"

Bian tersentak mendengar suara koar-koar dari adik-adiknya yang lain. Sementara Malika menunduk bersikap malu-malu kucing yang tak sesuai dengan sikapnya.

"Bian kok mau 'sih sama anak mama ini? Padahal Malik ini nakal lho," celetuk Prissy dibalas pelototan Malika.

"Ada gitu ya emak-emak yang jelekin anak sendiri di depan pacarnya," cibir Malika.

Senyum Prissy mengembang lebar. Wanita itu berujar, "ada dong dan itu mama."

"Ish."

"Karena aku mencintai Malika, Ma. Menerima semua kelebihan yang dia punya." Tiba-tiba Bian menyahut dengan santai. Ada ketegasan dalam kalimatnya yang membuat dada Malika mengembang bahagia.

"Ah, abang so sweet banget deh. Jadi pengen bawa ke kamar," puji Malika disambut teriakan orang-orang di dalam rumah.

"Malik!"

"Kak Malik!"



OMG! MALIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang