📖
Aku hanya memandangi udara kosong, berusaha membayangkan sisa-sisa kehidupan lain di balik atau bahkan di bawah tempat dudukku ini. Rasanya mengerikan saat guruku menjelaskan tentang jutaan manusia yang tewas, tapi adik laki-lakiku mencubit bahuku dan mencium pipiku penuh kasih sayang. Tubuh kurusnya menyiratkan keprihatinan, ada semacam luka di dalamnya yang sama sepertiku. Luka paling berbekas dan hanya bisa hilang dengan keadilan.
Anak malang? Satu kemungkinan. Ketika kami lahir, kami sudah diberi semacam beban karena ibu kami wanita pekerja. Setiap wanita pekerja yang melahirkan hanya diberi cuti tiga hari dan lanjut dengan bekerja keras, umumnya mereka akan menitipkan bayi pada seseorang yang lebih tua. Ada rasa keberuntungan ketika kami dinyatakan sebagai salah satu anak yang berhasil bertahan hidup, walaupun itu berarti kami semakin memperpanjang penderitaan.
Aku sudah banyak mendengar kabar tentang kematian bayi karena kelaparan, kekurangan asi tentunya. Namun ada tempat lain yang jauh lebih nyaman dan hanya menjadi mimpi bagi kaum lemah sepertiku, tapi itu bukan sekedar bunga tidur bagiku, aku ingin menembus pembatas antara kekuasaan dan penderitaan, mereka harus melihat bagaimana kehidupan di sini sesegera mungkin.
Adikku, Arkan yang masih berusia 11 tahun dengan tinggi yang hampir menyusulku dan umur yang hanya berbeda 6 tahun dariku membuktikan bahwa dirinya bukanlah anak yang tumbuh untuk menjadi seorang pekerja, dia sendiri punya mimpi menjadi seorang yang menciptakan banyak manfaat bagi orang lain. Aku menghargai mimpinya dengan tidak mengganggunya saat dia sedang merenung, menanyakan banyak hal pada udara kosong dan kemudian setiap orang akan mendengar gumamannya, "oh, iya ... aku tahu." Seakan keheningan menjawab.
Aku menoleh memandang Arkan, sepertinya dia sedang gembira. Gembira? Kugelengkan kepala sebagai tanda tidak paham namun malah membuatku hampir terjatuh akibat pusing dan pastinya karena terik matahari di tempat terbuka.
"Ayo kita pulang," kata Arkan. "Kita bisa tunjukkan ini pada ibu, juga ayah." Dia mengangkat sesuatu di tangan kirinya.
Ikan. Terlihat masih segar. Ada satu, dua, oh ... ada empat ekor ikan berukuran sedang. Darimana dia ...
"Darimana ikan itu?" tanyaku curiga.
"Sungai, aku sedang duduk di tepi sungai sambil menumbuk dedaunan, maksudku ..."
"Kau buat ikan itu mabuk?"
"Jujur saja ya, aku tidak sengaja. Lagipula aku tak tahu jenis daun apa lagi yang membuat ikan ini bisa muncul pasrah dihadapanku."
"Dan jujur saja ya, perbuatanmu itu ilegal kalau kau memang ingin menjadi seorang pemikir."
Tentu menangkap ikan dengan cara seperti itu terbilang ilegal karena membuat populasi ikan di sungai bisa menurun, meskipun yang kutahu bahwa sifatnya hanya sekedar memabukkan. Tapi seseorang pernah menyanggahku dengan adanya kemungkinan ikan kecil akan mati dibanding mabuk dan aku hanya bisa bilang ya untuk ketidaktahuanku.
Yang terpikir olehku dengan membuat ikan mabuk adalah betapa bahagianya orang-orang kelaparan dan betapa tersiksanya saat tahu bahwa tak ada lagi kehidupan tersisa untuk ikan, tak ada lagi harapan untuk bisa makan ikan.
"Tapi ... selalu ada prioritas. Perut dan hukum," hiburku sambil nyengir.
"Ya, mereka tidak bisa menghukum kita dalam keadaan kelaparan. Sebaiknya kita pergi sebelum ada yang melaporkan, akan lebih baik mereka menghukumku setelah selesai makan," Kata Arkan.
"Akan lebih baik kalau kau merasa aman setelah makan," kataku mengoreksi ucapannya.
Obrolan santai untuk perut yang kelaparan. Aku sudah lupa seperti apa rasanya ikan. Sudah lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lira Wana : Sampai di Indah Bara
Science Fiction"Baik dan buruk, penilaian ada di dalam dirimu." Bad leaders JANGAN DITIRU untuk segala kegiatan barbar yang terdapat di sini ya. Cerita ini bukan untuk ditiru, melainkan untuk direnungi. (Tapi kalian bisa meniru karakter Lira yang dikenal tangguh) ...