(Lebih Baik Mati)

136 11 0
                                    

...




Mataku menemukan Dika di dekat pohon pinus yang tumbang. Dia sedang asyik mengobrol bersama teman-temannya–teman-teman seangkatan denganku. Perasaan mengatakan bahwa dia sempat memperhatikanku, meskipun kenyataan belum tentu dia melakukannya.

Aku mengekor di belakang ayah, menaiki jalanan yang agak menanjak bukanlah suatu tantangan bagi kami, tapi saat jalanan ini licin, itulah tantangan tersendiri.

Sekitar setengah jam berjalan, kini kami berada di tempat yang lebih sunyi, dingin dan lembab. Tempat yang jarang kukunjungi. Ayahku berhenti dan mulai berbalik memandangiku lekat-lekat.

"Nak?" katanya pelan. "Saat kau berada di tempat rahasiamu itu, apakah kau melihat pagar?"

"Entahlah," kataku jujur. "Aku tidak memperhatikannya, Yah. Kenapa ayah bertanya seperti itu?"

"Ayah hanya memastikan. Karena dulu mereka memasang perangkap jebakan di sana. Mereka menanamnya."

"Di mana tepatnya, Yah?" tanyaku sangat ingin tahu.

"Sekitar satu kilo meter dari pagar," jawab ayah. "Perhatikan warna batu, pohon dan tanah yang sedikit menggunung jika kau tidak yakin dengan jaraknya, tapi sebaiknya kau tidak berjalan terlalu jauh dari tempatmu."

"Jujur, Yah, aku tidak memperhatikan—maksudku, aku tidak melihat pagar dari tempatku. Semuanya rimbun dan banyak pohon-pohon berbuah di sana. Aku tak mau meninggalkan tempatku begitu saja. Lagipula, aku juga tak mau mengambil resiko mendekati pagar itu."

"Ayah percaya, Nak."

"Apa ayah pernah ke sana?" tanyaku penasaran.

"Dua kali," jawab ayah dan membuatku terkejut, sangat terkejut. "Pertama kali ayah melakukannya sendiri. Dan sama sepertimu, ayah menukar hasil dengan sesuatu yang berharga."

"Apa yang ayah dapat?" Aku tak mau bertanya apa yang ayah tukar, karena bayanganku tentang hutan itu sudah cukup jelas memberi jawaban tentang apa yang ayah dapat di sana.

"Gaun. Gaun putih untuk ibumu yang sekarang telah dilungsurkan padamu," jawab ayah.

Gaun putih? Rasanya aku belum pernah memakainya. Dan tepat pada saat itu ayah mengatakan, "kau belum pernah memakainya. Gaun itu terlalu besar saat ibumu menyerahkannya." Ayah mengambil duduk di akar yang menonjol, membuatku melakukan hal yang sama.

Aku ingat. Gaun itu masih di dalam lemari, tersimpan rapi di tumpukkan paling bawah.

"Aku yakin gaunnya sudah pas di badanku," kataku sambil tersenyum. "Ayah menukarnya setelah menikah dengan ibu?"

"Setelah ayah menikah dengan ibu," kata ayah mengulang. "Dan pada yang kedua, ayah bersama ibu dan pamanmu, Puga. Ayah mengajak mereka berdua untuk melihat tempat baru itu. Ketika kami sampai di sana, kami sempat tertawa dan saling melempar buah-buahan yang kelewat matang ke segala arah. Kami terlena dengan segala yang ada di sana. Kemudian ... " Ayah menelan ludah.

"Apa yang terjadi?" tanyaku tak sabar.

"Kemudian kami menyisiri hutan bersama-sama. Pamanmu memimpin jalan, dia terlihat bahagia ketika menunjuk ke depan, pagar. Ayah bisa melihatnya meskipun dari jauh, pagar yang begitu tinggi dan runcing. Dan tepat saat itu, ketika pamanmu menyentuh pohon di sebelahnya, dia hancur."

"Apa?" tanyaku kaget dan tak yakin. Apa maksudnya hancur?

"Pohon itu meledak menghancurkan tubuh pamanmu. Ibumu, dia hampir kehilangan tangannya saat sambaran bom juga mengenainya. Kau bisa melihat bekas luka sambaran di tangannya yang masih berbekas. Dan karena itu pula ibumu tidak bisa menghentikan getaran di tangannya."

Lira Wana : Sampai di Indah BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang