📖
"Aneh rasanya, kenapa hutan itu tak tersentuh siapa pun?" tanya ibuku kebingungan.
Aku memang tidak sempat mengatakan kemungkinan telah melampaui radius yang sudah ditetapkan, "karena hutan itu tak pernah dijelajahi siapa pun. Aku melewati batas keamanan."
Mata Arkan terlihat berbinar menyorotkan beragam pertanyaan yang sudah ada dalam benaknya. "Apa yang terjadi? Apakah tempat itu aman?"
"Untuk sesaat aku yakin tempat itu aman, bukankah begitu?" tanyaku mencari jawaban.
"Hal yang indah selalu menarik mangsa untuk mendekat," jawab ibuku parau.
"Kalian harus tahu," kata ayah. "Wilayah utara dijaga ketat oleh pasukan militer, tidak seperti wilayah lainnya." Mataku menyipit, berusaha menangkap setiap jengkal gerak bibirnya. "Orang-orang tak mau mengambil resiko jika harus tewas di sana."
"Darimana ayah tahu?" tanyaku curiga. Mungkin ini kesempatan bagus untuk semua pertanyaan yang membalut kepalaku.
Ayah tidak menjawab, dia malah memandang ibuku dengan ragu, tapi ibuku mengangguk. Anggukan apa? Mereka punya semacam cara untuk saling mengerti tanpa harus bicara.
"Bicaralah!" kata ibuku memandangi ayah. "Jika sudah seharusnya."
Aku menemukan pandangan Arkan mengarah padaku, mata kami saling bertemu dengan tatapan kebingungannya dan keingintahuanku.
"Ayah tahu," kata ayah tenang. "Ayah mengenal tempat itu."
Keingintahuanku berubah menjadi kebingungan. Apakah ayah pernah ke tempatku dan melihat mereka? Kupasang telinga untuk menunggu jawaban.
"Ayah pernah berada di baliknya," lanjut ayah.
"Di balik apa?" tanya Arkan bengong.
"Ayah pernah berada di balik tebing," jelas ayah.
Itu dia? Ayah yang dimaksud oleh Bu Alvi. Jadi, apakah ayah penyusup yang sedang melakukan perintah atau semacam tugas atau apalah namanya? Tapi mereka tidak membunuh ayah? Aku yakin ada peraturan tentang penyusup, mungkin eksekusi di hadapan umum, penjara atau dipasung dan sebagainya.
"Ayah bukan penduduk Setra," lanjut ayah lagi. "Ayah berasal dari pusat kota, Indah Bara. Tempat yang selalu kalian idam-idamkan."
"Tapi mengapa ayah menutup diri dari kami?" tanya Arkan serakah.
"Ayah ingin menutup diri. Ayah hanya seorang sandera. Terjadi kecelakaan saat ayah bekerja di sana. Saat ayah bekerja di Gedung Pusat Percobaan, ayah mendapat giliran untuk mencoba pesawat ringan model baru bersama rekan ayah, kami mengemudikan pesawat sampai sebuah kerusakan membuat kami harus berusaha menyelamatkan diri, kami meninggalkan pesawat dengan parasut. Ayah jatuh di tempat ini dan ibu kalian menolong ayah, mengobati luka-luka parah di kaki ayah."
"Apa yang terjadi dengan rekan ayah?" tanyaku berusaha membayangkan.
"Ayah tidak tahu, tapi menurut dugaan, dia terkena ledakan pesawat karena terlambat menyelamatkan diri. Itu dugaan terkuat karena ayah melihat kepingan pesawat beserta onggokan daging yang hampir matang berjatuhan ke dasar sungai."
Cerita itu membuatku sulit menelan ludah. Membayangkan onggokan daging manusia yang berjatuhan bukanlah sesuatu yang menyenangkan, meskipun tidak terlalu sulit dibayangkan. Mungkin potongan daging itu dimakan ikan, hewan pemangsa di darat, atau mungkin manusia? Jangan, jangan dipikirkan.
Ketika aku memusatkan kembali perhatian pada ayah, yang kulihat hanyalah rasa syukur, kengerian, dan ketidakpercayaan. "Bagaimana ayah bisa menjadi sandera?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lira Wana : Sampai di Indah Bara
Fantascienza"Baik dan buruk, penilaian ada di dalam dirimu." Bad leaders JANGAN DITIRU untuk segala kegiatan barbar yang terdapat di sini ya. Cerita ini bukan untuk ditiru, melainkan untuk direnungi. (Tapi kalian bisa meniru karakter Lira yang dikenal tangguh) ...