Setra 13 (Hilangnya Arkan)

57 14 0
                                    


📖

Pengumuman akan dilaksanakan tengah hari. Meskipun punya waktu untuk pergi ke Hutan Jaya, tapi aku mengurungkan niatku dan lebih memilih membersihkan diri di Hutan Pinus. Arkan, dia pergi sekitar jam enam pagi bersama Didit ke tempat rahasianya dan aku membiarkan mereka dengan perlindungan—pengetahuanku.

"Aku masih ingat dan aku memperhatikan," kata Arkan sambil menenteng tas kosong.

"Bagus," sahutku. "Dan pakaianmu, jangan sampai kotor, oke?"

Arkan menggunakan pakaian untuk pengumuman, dia tidak menggunakan pakaian biasa. Dia mengatakan tidak akan punya waktu lebih untuk berganti pakaian, dia akan cukup datang langsung ke sekolah dengan keringat dan pakaian yang sudah bau, padahal aku sudah menyarankan agar dia membawa pakaian ganti.

Orangtuaku, aku menyuruh mereka bermalas-malasan di rumah untuk sekedar melepas rasa lelah dari pekerjaan, tapi ayah bilang bahwa dia akan mencari kayu bakar, sementara ibu akan pergi ke hutan wilayah timur. Ini berarti kami sekeluarga sama-sama terpisah untuk urusan masing-masing.
Jadi, aku pergi sendiri dengan terlepas dari bisikan jijik orang-orang sekitar. Sebaliknya, mereka malah tak henti menanyakan seputar hubunganku dengan Alan.

"Kami berteman," kataku dengan nada lelah setelah menjawab puluhan pertanyaan yang sama sebelumnya. "Hanya teman."

Aku menaiki pohon besar di dekat sungai, membiarkan mataku melirik keadaan di bawah dengan banyak manusia sibuk mengurusi urusannya masing-masing. Tapi tepat di sebelah kanan, Yelsin terlihat sedang menuruni bebatuan menuju sungai, dia tidak melihatku. Yelsin bisa dibilang musuhku, walaupun secara nyata tidak tahu kapan dia bisa menjadi musuhku.

Tepat setelah melepas pandangan darinya, aku merasakan sesuatu menghantam tengkorakku, rasa menyakitkan yang seakan menembus hingga terbenam di otakku. Peganganku hampir lepas di antara dahan, meskipun akhirnya berhasil memeganginya dengan susah payah.

Terdengar tawa menggema di kepalaku, tawa itu nyata di bawahku. Yelsin, dia tampak berdiri puas memegangi ketapel.

"Baik-baik saja di sana?" teriaknya puas.

"Ya," balasku menahan sakit. "Sayang sekali bidikanmu meleset."

Wajah Yelsin tampak kesal. Aku turun dari pohon dengan susah payah dan berhasil berdiri dengan mantap di hadapannya.

"Sini kuajarkan," kataku mengejek sambil meminta ketapel di tangannya.

"Tak perlu, aku sengaja biar kau tak perlu kesakitan," elak Yelsin.

'Aku kesakitan, bodoh.' Aku beruntung bisa menahan diri dari amarah, dia benar-benar berusaha memancingku, mungkin untuk memukulnya.

"Aku tak punya masalah. Mengapa kau suka menggangguku?" tanyaku tak peduli dengan wajah kesalnya.

"Karena dia iri denganmu," timpal suara berat di belakang yang mengejutkanku. Dika, dia membawa daun lebar dan mengibaskannya ke wajahnya sendiri.

"Sungguh?" ledekku pada Yelsin dan mengabaikan Dika yang sekarang di sebelahku.

Yelsin memelototiku dan berbalik menghilang menembus rimbunnya dedaunan. Aku berdiam diri membatu.

"Lira," panggil Dika tenang. "Aku minta maaf akan semua sikapku."

"Sikapmu yang mana, ya?" tanyaku ketus.

"Semuanya. Aku yang selalu menekanmu, memaksamu, apa pun itu yang kautahu bisa membuatmu semakin membenciku."

"Bagus."

"Aku serius," kata Dika tampak menyesal. "Aku paham betul soal perasaan, dan itu tidak bisa dipaksakan."

Lira Wana : Sampai di Indah BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang