Setra 12 (Kartu Ucapan Yang Membosankan)

52 8 0
                                    

📖



Ibu memang benar bahwa penduduk menelan mentah-mentah ucapan Nenek Tua Maida. Ketika keluar rumah bersama Arkan, puluhan atau mungkin ratusan pasang mata melirik sambil berbisik-bisik setiap kali aku lewat.

Ibu dan ayahku, ketika mereka di pabrik, banyak orang yang bertanya-tanya dan membuat mereka lelah dengan usaha meyakinkan bahwa kabar tentangku itu tidak benar. Memang sebuah kecacatan dalam keluarga saat ada kabar tentang anak gadis yang hamil di luar pernikahan, tapi seharusnya ada yang lebih peka. Bagaimana dengan para gadis penghibur yang banyak menghabiskan waktu berhari-hari dengan lelaki tua? Tidak pernah terdengar cibiran tentang gadis-gadis murahan itu. Apa pun sebutannya, aku tidak pernah mendengarkan. Sementara berita tentangku yang pada nyatanya tidak benar, menyebar dan jadi bahan cibiran, mereka seperti kehilangan akal.

Selama seharian aku menyisiri Hutan Pinus, menyerah dengan Hutan Jaya tempat rahasiaku karena setelah berada di sana, aku pasti akan memilih pasar gelap. Sementara untuk saat ini pasar gelap bukanlah hal baik untukku. Penduduk Setra-Timur akan puas melihatku berjalan dari utara. Itu sebabnya aku menahan diri untuk pergi ke utara.

Arkan punya cara lain untuk menghiburku, dia mengajakku bertemu dengan kakek tua yang memberinya peta. Dan ternyata kakek tua itu tinggal di sebuah gubuk lapuk namun sangat hidup. Ada puluhan bebek di sebuah kurungan pagar yang ada di samping gubuknya.

Ketukan pintu pertama Arkan disambut dengan suara batuk berat dari dalam. Aku hanya berusaha menahan diri dengan mengambil napas dari mulut karena bau kotoran bebek begitu memabukkan.

Ketika pintu terbuka, aku melihat tulang yang terbungkus kulit keriput. Ternyata kakek yang disebut Arkan itu adalah kakek yang terlampau tua. Aku tidak mengerti pada bagian lain, ketika kakek tua itu berjalan, dia seperti baru berumur 60-an dan wajahnya menyiratkan bahwa dia berusia sekitar 90-an. Mungkin kakek tidak terlalu tua, lelahlah yang membuatnya terlihat sangat tua.

Kakek tua itu menyapaku dengan suara tuanya. Aku memberikan senyuman hormat dan anggukan yang teramat sopan ketika dia memulai basa-basi seperti perkenalan dan ternyata dia memiliki nama Baran. Basa-basi dengan menceritakan hebatnya adikku ketika membantunya mengejar bebek dengan perangkap buatannya, itu sudah jadi kepastian. Dan kemudian cerita sampai pada sesuatu yang menarik perhatianku dan ternyata juga menarik perhatian Arkan. Jadi, kakek itu belum bercerita pada Arkan juga.

"Membuat peta itu melelahkan," kata Kakek Baran serak. "Belasan tahun aku melakukannya."

"Apa yang membuatnya lama?" tanyaku heran.

"Perjalanan dan rintangan. Itu membuatnya lama. Ayah kalian menyampaikannya dengan amat rapi, tapi rasanya itu sudah tidak berguna lagi."

Ayahku? Ayah kami? Ketika ayah bilang dua puluh lima tahun yang lalu, jadi dia. Kakek Baran yang menyadap informasi dari ayah ketika itu dan dia memanfaatkannya untuk menjelajahi setiap titik marabahaya. Aku ingin marah, saat ini juga. Tapi peta itu punya kegunaan juga dan aku harus berterima kasih.

"Ayah kami tidak pernah menceritakan kecuali kami bertanya tanpa memaksa," kataku mulai merasa jengkel.

"Aku petugas. Aku punya hak untuk melakukan apa pun jika terjadi sesuatu. Kalian harusnya bersyukur aku menebus kesalahanku dengan peta itu," timpal kakek Baran.

'Penyesalan yang bagus.' Aku memandangi kakek tua itu dengan jijik.

Aku ingat perkataan ayahku, 'penduduk Setra tak semiskin yang kalian pikirkan, tak sebodoh yang kalian pikirkan, jika kalian bilang mereka licik, coba cari tahu.' Aku juga ingat bagian lainnya ketika ayah bilang mereka selalu punya kejutan seperti hadiah bahan pokok jika ada murid berprestasi di sekolah. Cerita ayah tak jauh beda dengan kekek Baran dan petanya. Prestasi dan bahan pokok. Rahasia dan peta.

Lira Wana : Sampai di Indah BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang