Setra 9 (Ledakan Serangga & Kecelakaan Pabrik

77 4 0
                                    


📖


DUARR!!

Suara ledakan membuatku jatuh tersungkur ke dalam semak, jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatku. Bau yang tak asing tercium di belakangku, Kusentuh bagian punggung mencari tanda-tanda kerusakan dan yang terjadi, sebagian ujung rambutku hangus terbakar. Aku berbalik dan melihat ke belakang, abu-abu hitam beterbangan di dekatku, bisa dikira bahwa ledakannya hanya memiliki radius satu meter.

Saat itu pula tanganku terasa panas terbakar. Kubuka tangan yang menggenggam buah darah yang kini sudah hancur remuk di telapak tanganku. Tak sempat berpikir lagi, aku sudah memasukan tangan ke dalam arus sungai hingga merasakan tusukan yang beradu antara dingin air dan panas dari buah darah tersebut. Saat kuangkat tanganku, telapaknya sudah melepuh dan perih. Rasa terbakar yang membuatku tak bisa berhenti menahan pekik kesakitan.

Ledakan dan buah darah.

Semuanya mengejutkanku. Kehilangan beberapa helai rambut bukanlah masalah besar jika dibandingkan dengan tanganku ini. Aku tidak tahu apa yang memicu ledakan itu dan kupikir ledakan itu terbilang ringan dibandingkan dengan ledakan yang ayah ceritakan.

Kurobek bagian kain coklat yang sudah membungkus keranjang, mencelupkannya ke dalam air sungai dan membelitkannya di sekitar luka yang melepuh untuk sementara waktu.

"Sudah waktunya pulang," gumamku gemetar.

Aku menjejaki alam terbuka setelah satu jam berada di lintasan semak. Lelah, kesakitan, sesak napas, itulah yang kurasakan saat ini. Aku juga terguncang, sangat terguncang.

Sampai di pilar pasar gelap, aku menerobos orang-orang tak peduli siapa yang tertabrak, tak peduli umpatan yang terdengar di belakangku. Aku masuk dan langsung ambruk di bangku kios Oliz dan membuatnya terlonjak kaget.

"Bodoh! Kau harus lebih sopan kalau menyapa seseorang," umpat Oliz.

"Maaf," kataku susah payah dalam suara yang semakin serak. "Aku membawakanmu sayuran."

"Bagus. Apa yang terjadi?" tanyanya dan dia mengambil duduk di kursi dalam kiosnya.

Kutarik ikatan di tangan kananku yang melepuh dan malah berwarna merah mengerikan, Oliz memekik kaget.

"Kau terbakar," katanya panik.

"Tidak. Aku menyentuh buah entah apa namanya hingga menghasilkan luka seperti ini."

"Sini! Biar kuobati."

Tidak menguntungkan menolak tawaran Oliz karena itu yang sekarang kubutuhkan. Dia menyuruhku masuk dan mendudukkanku di atas tikar. Kemudian Oliz masuk ke dalam ruangan—mungkin rumahnya sampai dia muncul membawa kotak di dadanya.

Dengan hati-hati, Oliz mencelupkan kapas ke dalam wadah kecil berisi cairan lengket dan berbau itu. "Salep, ampuh untuk luka melepuh sepertimu," katanya. Aku mengangguk.

Aku mengerang pasrah saat kapas menempel di bagian lukaku. Aku bersandar di dinding merasakan setiap tusukan di tangan, aliran rasa dingin dan perih yang menyatu membuatku merasa tak berdaya, tapi Oliz masih mengolesi salep pada luka di tanganku.

Hingga selesai sudah. Tanganku sudah dibungkus kain perban tipis yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Aku akan lebih senang jika lukaku dibiarkan terbuka dengan harapan cepat kering.

"Aku tidak bisa membayarnya," kataku kecewa. "Tidak saat ini."

"Tak perlu," kata Oliz tenang. "Aku hanya ingin membantumu."

Apa dia menunjukkan cara kepeduliannya kepada semua orang? Aku yakin dia tidak pernah melakukannya, tapi dia menunjukkannya padaku dan membuatku merasa bersalah jika tidak membalasnya.

Lira Wana : Sampai di Indah BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang