Akhir bagian satu....
"Didit!" pekikku mempercepat lari.
Anak itu tidak menoleh, tapi dia berlari menuju pohon yang sangat tinggi. Aku menuju ke arahnya saat dia sedang berusaha memanjat pohon hingga sekarang Didit berada sekitar tujuh meter di atasku.
Dengan susah payah aku menaiki pohon yang sama hingga berhasil pada ketinggian tiga meter ketika kawanan anjing liar itu sampai di dekat pohon. Mata tajam mereka menyiratkan sebuah peringatan, jangan biarkan mangsa lepas begitu saja.
Didit mengulurkan tangan dan menarikku ke dahan yang lebih besar. Dia tampak terengah-engah ditambah keringat menyelimuti wajahnya yang merah menyala. Seandainya ada cermin, aku pasti seperti Didit saat ini.
"Di mana Arkan?" tanyaku panik.
"Aku tidak tahu," kata Didit memegang dadanya yang sesak, dan kakinya seakan tak bisa berhenti bergetar. "kami berpencar ketika kawanan anjing liar itu mengejar kami."
Aku punya titik harapan tentang adikku, dia baik-baik saja sepertinya. Dia bisa memanjat pohon dengan cepat sebelum kawanan anjing liar itu menggigitnya dan ledakan itu ...
"Kalian yang memicu ledakan itu?" tanyaku mengabaikan gonggongan mengerikan di bawah.
"Anjing-anjing itu penyebabnya," jawab Didit.
"Apa?" tanyaku meminta penjelasan.
"Ini salahku. Aku membuka kandang hewan itu, kupikir itu hanya pagar biasa, kemudian kami memasuki pagar dan—dan yang terjadi selanjutnya, kami berlari setelah mendengar gonggongan itu, hingga kami melihatnya—puluhan ekor anjing liar mengejar kami."
"Apa yang meledak?" tanyaku amat penasaran.
"Aku tidak yakin, tapi kurasa itu berasal dari pohon besar."
"Getarannya sampai ke sekolahan," kataku berusaha mengaitkan cerita.
"Sungguh?" tanya Didit tak percaya.
"Ya, semua orang panik saat itu dan–itulah yang membuatku bisa di sini."
"Untuk memastikan Arkan baik-baik saja?" tanya Didit peduli.
"Untuk memastikan kalian baik-baik saja," kataku mengoreksi bagian kalimatnya.
"Terima kasih. Kau harus tahu, ledakan tadi membuat sebagian besar anjing liar mati dan memicu terbelahnya tanah."
Aku tercengang mendengar perkataan Didit, dia menunjuk ke arah seberang . Tepat sekitar 50 meter dari tempatku, beberapa pohon tumbang dan tanah terbuka lebar memutus akar.
"Itu mengerikan," lanjut Didit tegang. "Aku tidak bisa berhenti bergetar karenanya."
Oh, jadi itu alasan kakinya bergetar tadi, karena Didit kepayahan berlari jauh.
"Hewan gila itu tidak bisa memanjat, kan?" tanya Didit dan membuatku mengeluarkan tawa mengerikan.
"Tidak. Hewan itu tidak akan bisa memanjat," kataku berusaha menenangkannya. "Ini kali keduaku dikejar anjing liar.
"Dikejar?" tanya Didit memandangiku tak percaya.
Ya, aku pernah dikejar sebelumnya saat aku dan ayah pulang dari pemakaman seorang nenek tua yang meninggal secara mendadak. Ketika semua pulang, aku tidak mau beranjak dan malah mengajak ayahku pergi ke berkeliling ke sekitar gerbang luar Rodam.
Puas berkeliling, ayahku mendengar sesuatu di balik rimbunnya pepohonan. Dia menarikku dengan sangat cepat karena menyadari adanya bahaya, 8 ekor anjing liar berukuran sedang mengejar kami. Ayahku, dia menemukan pohon yang bagus untuk dipanjat dan kami pun memanjat hingga sampai di ketinggian 10 meter, kami semalaman berdiam diri di pohon itu sampai ayah harus membunuhnya. Dia menajamkan batang-batang pohon dan melemparkannya ke arah anjing liar itu hingga mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lira Wana : Sampai di Indah Bara
Ciencia Ficción"Baik dan buruk, penilaian ada di dalam dirimu." Bad leaders JANGAN DITIRU untuk segala kegiatan barbar yang terdapat di sini ya. Cerita ini bukan untuk ditiru, melainkan untuk direnungi. (Tapi kalian bisa meniru karakter Lira yang dikenal tangguh) ...