Setra 7 (Ujian & Ratusan Kelinci)

104 7 0
                                    


📖

Sudah kukatakan berulang kali tidak akan melakukannya sampai aku bisa berjalan dengan baik lagi, tapi dia tak percaya sama sekali ucapanku. Cara apa yang tepat untuk meyakinkan ibu bahwa aku tidak akan ke hutan? Hutan–tempat rahasiaku?

Engsel pintu berderit. Itulah satu-satunya harapan terbaik. Aku melangkah ke dekat pintu, ayah berdiri sambil menenteng kayu bakar di tangannya.

"Ayah," kataku memohon. "Tolong yakinkan ibu, aku tidak akan pergi ke hutan sana lagi sampai keadaan membaik."

Ayah tersenyum kemudian mengangguk. Dia berjalan susah payah melewatiku sambil membawa kayu bakarnya. Arkan, dia tak masuk ke rumah dan sudah siap berangkat sekolah, rupanya dia mencari kayu bakar sambil membawa tas, oke.

Ayahku berbicara sangat pelan sambil memegangi bahu ibuku. Apa yang dikatakan ayah sampai mampu membuat ibu mengangguk lemah? Kemudian ibu pun menoleh dan mengatakan dia percaya padaku. Saat itulah aku mengambil tas dan menghampiri Arkan yang menunggu di luar.

Aku agak sedih. Sebenarnya aku tahu bahwa ibu melarangku ke hutan sana untuk selamanya, tapi dia tidak punya kesanggupan untuk membicarakannya. Tidak punya kesanggupan untuk memberikan kisah detailnya, tidak setelah dia melihat saudaranya hancur di depan matanya.

Dan ayah memberitahuku, tapi ayah pasti tidak memberitahu ibu bahwa dia telah menceritakannya. Kalau ibu tahu, dia pasti sudah mengurungku ketika tahu aku akan ke sana lagi setelah sembuh, karena ada alasan baginya untuk tidak bercerita. Ibu akan melarangku dan berkata, 'kau sudah dengar kejadian apa yang kami lalui? Dan bagaimana pamanmu tewas? Ibu tidak akan membiarkan kejadian itu terulang lagi, untuk siapa pun. Terutama anak-anak ibu.' Kurang lebih dia akan berkata seperti itu.

Di sekolah, semua mendapatkan pelajaran ekstra untuk mengejar ketertinggalan materi dan ini tidaklah lebih baik. Ketika guruku bertanya tentang tanaman apa yang mengeluarkan bunyi desisan saat disentuh, Rumi—teman sebangkuku membuat tanganku teracung lemah. Satu kelas menatapku sementara aku tidak tahu tanaman apa. Tapi kemudian bibirku bergerak dan menjawab, "beracun! Tanaman beracun!" sedetik kemudian adalah keheningan dan DUAR! Rentetan tawa membanjiriku dan membuatku memandang sebal ke arah Rumi, gadis kriting bermata sipit itu. Jawaban barusan sudah tentu salah.

Saat-saat selanjutnya adalah waktu yang menyebalkan. Arkan sudah menemukan kesibukan baru bersama temannya, Didit itu. Apa pun yang mereka lakukan, aku tidak senang karena mereka enggan memberitahuku.

Berjam-jam waktu dihabiskan di hutan bagian selatan, tempat aku dan ayahku saling bertukar cerita kemarin pagi. Aku lebih suka menyendiri ketika Arkan tidak ada menemani. Aku bukanlah orang yang banyak bicara di hadapan orang banyak, lebih suka menyendiri untuk waktu yang lama.

Dan semakin lama, aku menghabiskan waktu siang selama 6 hari berikutnya sendirian sampai kakiku merasa jauh lebih baik, jauh lebih ringan. Sama dengan Arkan, kami mendapatkan masing-masing satu hadiah dari ayah dan ibu. Pakaian yang senada. Warna antara langit hitam dan biru, kami memakainya pada hari pertama ujian. Hari ini.

Ada sentuhan akhir di belakang kepala. Ibu melakukannya. Ikatan rumit yang tak bisa kuperhatikan, tapi aku merasakannya. Sentuhan demi sentuhan membuatku dengan mudah membayangkannya. Lilitan-lilitan yang ditahan dengan jepitan sampai membentuk gulungan rapi. Rambutku, tidak ada satu helai pun menyentuh leher. Untuk sesaat, kupandangi diriku di cermin yang tersampir di dinding rumah.

Sulit untuk mengenali gadis angkuh yang berdiri di hadapanku, dia menatap tajam ke arahku dengan pakaian warna biru yang teramat tua dan rok menutupi lututnya. Dia itu aku.

"Ibu harus menyadari sepenuhnya bahwa gadis di cermin itu bukan anak kecil lagi," ujar ibu menepuk bahuku. Mata kami bertemu dalam cermin.

"Aku hanya tidak percaya," kataku sambil menggeleng dan memusatkan kembali pandangan pada pantulan mata ibuku. "Siapa pun yang sedang ada di hadapanku, aku tidak pernah merasa seperti ini."

Lira Wana : Sampai di Indah BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang