(Si Penggosip Nenek Tua Maida)

66 2 0
                                    


...

Rumah. Pintu rumah tertutup rapat dan sepi. Aku sudah melupakan kejadian kemarin dengan Arkan, tapi  rumah ini membangkitkan ketakutanku kembali karena di sinilah tempat di mana aku selalu berbagi bahagia bersama Arkan atas cerita-cerita lama yang dibangkitkan ayah dan ibuku—ayah dan ibu kami.

Aku masuk dan menyerbu ranjangku, meringkuk dalam keremangan mentari pagi dan enggan bergerak ke sana sini lagi. Apa yang mereka lakukan saat aku tidak berada di sini? Menangiskah dengan segala kemungkinan? Bertanya-tanya apa yang kulakukan? Sementara aku terbungkus kehangatan dan tenang dalam tidur setelah kata-kata hangat si pemuda dan obat yang menenangkan syarafku.

Dan saat ini, aku menginginkan kata-kata itu lagi. Bukan rayuan, tapi kalimat yang bisa merefleksikan hati dan pikiranku secara seimbang hingga tak perlu kesusahan atau terjebak dalam ego yang mematikan. Saat ini aku membutuhkan  pemuda itu untuk menampung ceritaku. Jujur, anggukan tanpa sadar tadi adalah sebuah keberuntungan.

Meringkuk seperti ini bukanlah aku yang sebenarnya, aku yang sebenarnya selalu bertahan di luar tak peduli seberapa keras cuaca memukul atau mencekik. Harus bangun dan aku bangun, harus keluar dan aku keluar.

Sampai di jalan utama, aku hanya diam merenungi jembatan arus limbah. Coklat? Auni cukup menghibur. Aku duduk bersila, berhadapan dengan bau menyengat yang memualkan hingga kembali teringat kejadian pria tua yang terpental itu. Aku mual. Bubur sudah mendesak sampai pangkal leherku ketika bayangan pria tua itu dengan kepala pecahnya, hancurnya rekan ayah di atas udara, juga pamanku Puga yang meledak hingga berkeping-keping, kilasan itu semakin liar ketika menampilkan sosok Arkan yang sedang kebingungan di dalam hutan (itu hanya mimpi buruk).

"Itu bukan dia!" desakku parau. "Itu bukan adikku! Dia tidak akan—tidak!"

Aku mencengkram pagar kuat-kuat sambil berusaha berdiri, menahan desakan di pangkal leher namun gagal, bau menyengat menarik sarapanku. Muntahanku jatuh pada arus limbah diikuti tubuhku yang hampir terjatuh ke dalam arus. Berat badanku terlalu bertumpu pada kepala sementara tangan lemahku tidak bisa menahannya, tapi ada tangan yang merangkulku dengan sangat kuat hingga tertarik ke belakang. Dan saat itulah kepalaku mulai berdenyut lagi.

Tamparan di pipi menyadarkanku, kudongakkan kepala dan ada dia lagi, Alan ada di hadapan dengan tatapan yang tak bisa kuabaikan. Kenapa dia menamparku?

Aku mendorongnya dengan tangan sedikit lemah dan membentak, "hentikan!"

Alan memegang keras leherku seakan hendak mencekik, aku meronta. "Kau kacau," katanya kasar dan melepas pegangannya.

Aku jadi agak gila dengan membentaknya. Dia tak salah. Aku memang sedang kacau, bisa dibilang memang kacau. Sangat kacau.

"Bangun! Bangun!" Alan berusaha keras sambil mengguncang bahuku. Aku bangun, tapi belum sadar sepenuhnya. Dan aku merosot, merunduk sambil membentur-benturkan kepala di pagar, berharap denyutan di kepala ini bisa tersamarkan oleh sakit yang lain.

Alan menghentikan apa yang kulakukan. Tidak ada lagi wajah yang biasa membuatku geli, jengkel atau ramah, dia menampakan wajah keras padaku. Apa pun yang dilakukannya, pemuda ini tidak bisa sepenuhnya kunilai.

"Adikku," bisikku penuh arti, memandangi apa yang bisa kulihat, kepalan tangan yang dipegangi begitu erat oleh Alan. Tidak mau melihat wajah pemuda yang sekarang amat keras padaku.

Aku hanya tidak ingin merasakan hal lain saat ini, tapi ada tarikan paksa yang menjauhkanku dari jembatan dengan bau yang memualkan itu. Aku merasakan sentakan keras ketika tubuh menghantam pohon besar.

"Lira?" Alan, aku mendengar suara lembut yang ingin kubayangi sebagai bunga tidur atau penjaga gerbang mimpiku.

Aku mendongak dan melihat wajahnya yang jauh lebih baik, tapi air mataku jatuh ketika bayangan mengerikan Arkan lenyap dan muncul dengan keadaan lebih mengerikan lagi. "Adikku." Hanya itu yang saat ini bisa kukatakan.

Lira Wana : Sampai di Indah BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang