📖
Terbangun di tempat lain, ruangan yang berbeda, yang lebih hangat dan tertutup, ternyata aku berbaring di ranjang yang berpenerangan minim. Aku tidak ingat ada yang memindahkanku dari kursi beludru.
Aku bangkit mengambil posisi duduk di tepi ranjang dan membiarkan diriku merasakannya, rasa yang sangat enak. Tubuh terasa lebih ringan dari sebelumnya, kemungkinannya adalah dari obat yang kutelan semalam.
Rasanya kepala juga sudah tidak berdenyut meskipun bungkusan perban menyatakan bahwa aku masih terluka, tapi denyut yang hilang ini berbeda. Bukan denyut akibat terbentur, tapi denyut karena sakit kepala.
Mataku mulai berkeliling menatap seisi ruangan. Kamar ini tak layak untuk kutiduri, beberapa benda bagus tergantung di dinding dan tepi jendela. Gorden tipis dengan motif sederhana memberikan cahaya matahari keleluasaan untuk menerobos kamar ini. Aku menarik bibir membentuk senyuman sebelum akhirnya tersadar harus segera pulang.
Aku terlonjak ketika hendak membuka pintu, Auni muncul berdiri dengan rambut singanya membawa secangkir teh hangat.
"Maaf," katanya.
"Oh, Auni," kataku merasa bersalah. "Aku yang harus minta maaf."
Kubiarkan pintu terbuka lebih lebar dan Auni pun masuk sehingga untuk sementara, aku harus duduk di tepi ranjang bersamanya.
"Bagaimana kondisimu?" tanya Auni riang.
"Baik. Sangat baik," jawabku terdengar senang. "Terima kasih kau sudah menemukanku."
"Meskipun itu secara tidak sengaja. Aku melihatmu pingsan dan ketika aku berusaha mengangkatmu hingga berhasil menyeret setengah jalan, Alan muncul dan membawamu ke sini. Tadi malam dia juga yang memindahkanmu ke kamar ini, di luar terlalu dingin."
Aku tidak masalah jika harus kedinginan, Auni. Tidak masalah. Itu lebih baik daripada Alan harus mengangkat tubuhku lagi. Itu hanya akan membuat Oliz puas. Lagipula, tidak mungkin aku jatuh cinta pada pemuda itu. Dia suka menggoda semua gadis dan aku tidak suka, meskipun Oliz mengatakan bahwa hanya aku yang pertama dikaguminya. Tapi aku tidak ingin menganggap Alan lebih dari sekedar teman baruku, dia hanya seperti kau, Auni. Teman baruku.
"Ini tehmu." Auni menyodorkan cangkir.
Aku menangkupi cangkir dengan kedua tanganku. Tangan kiri terasa panas dan lain lagi di tangan kanan yang merasa hangat karena terhalang balutan perban.
"Di mana Oliz?" tanyaku setelah meneguk setengah isi cangkir.
"Dia sedang melayani pembeli yang ingin sarapan bubur," jawab Auni.
Ini akan jadi saat yang tepat untuk berpamitan pada Oliz, dia tak bisa menyuruhku diam di tempat sementara dia sibuk mengurusi pelanggannya. Aku akan segera pulang untuk memastikan pada mereka bahwa aku tidak apa-apa. Tapi ... orangtuaku mungkin sudah berangkat bekerja dan Arkan, aku tidak tahu ke mana tujuannya saat sekolah dibebaskan selain untuk menyelelesaikan misinya itu.
"Aku harus pulang, mereka pasti khawatir Auni, keluargaku," kataku terdengar memohon.
"Ayo, kita bisa bicara dulu pada bunda," balas Auni sambil berdiri.
Aku baru menyadari sepenuhnya bahwa bentuk rumah ini memanjang seperti lorong setelah bebas memadang berkeliling karena Auni memimpin jalan, jadi aku tidak merasa diawasi karena tingkahku ini.
Aku dan Auni berada di dekat pintu ketika Oliz sedang sibuk melayani pelanggan yang sedang mabuk berat, dia mengoceh tentang pakaian yang terbakar lilin dengan nada yang menjengkelkan dan terkadang dia tertawa pada kalimat yang tidak tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lira Wana : Sampai di Indah Bara
Science Fiction"Baik dan buruk, penilaian ada di dalam dirimu." Bad leaders JANGAN DITIRU untuk segala kegiatan barbar yang terdapat di sini ya. Cerita ini bukan untuk ditiru, melainkan untuk direnungi. (Tapi kalian bisa meniru karakter Lira yang dikenal tangguh) ...