Setra 6 (Lebih Baik Mati)

146 11 3
                                    


📖


Sudah terlalu sore. Terlalu lama berada di hutan, terlalu lama di pasar gelap, harusnya aku tidak perlu mengobrol. Memang tidak salah dengan ungkapan penyesalan datang di akhir, kini aku merasakannya. Tapi hal lain yang mungkin akan membuat ibu gembira, ada bumbu untuk penyedap makanan.

Jalanan mulai dilapisi kabut tipis dan membuat jarak pandang agak terganggu. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan, padahal sebelumnya langit masih cerah dan itu artinya aku harus pulang dengan cepat, secepat kakiku mampu melangkah. Perban dan duri.

Aku tidak suka jalanan yang kulalui ini, harusnya kutukar buah-buahan itu dengan sandal. Berkali-kali genangan lumpur hampir membuatku jatuh. Ribuan kali orang yang tidak lebih sadar dariku sampai terguling-guling melalui jalan ini. Aku tidak bisa membayangkan rasanya menjadi seorang pemabuk, bisa jadi jalanan ini akan dilalui selama semalaman atau mungkin sampai aku tersadar .

Saat sinar matahari yang terhalang kabut hampir tenggelam, badanku agak menggigil akibat suhu udara dan angin yang bertiup kencang. Seratus meter menuju jalan utama, aku harus bergegas. Yah, hujan gerimis.

Hujan mulai turun dan butir-butir halusnya mulai menyelimuti rambut dan kulitku, menyebabkan gigilan semakin mengencang. Aku harus merapatkan tubuh dengan memeluk buntelan kain agar dinginnya tidak menembus dadaku juga. Punggungku masih terasa hangat karena terhalang tas.

Rasa jijik timbul ketika melirik bagian perbanku. Tidak ada warna putih, yang ada hanya warna coklat, basah dan menimbulkan gatal-gatal di area kaki. Tidak mau memperburuk, langkah selanjutnya untuk orang yang sedang kepayahan adalah menumpukan berat badan sebelah kiriku ke tumit, kubiarkan jari kaki terangkat agar aman dari sentuhan tanah licin.

Cukup baik, setelah sampai di rumah. Aroma sup menyeruak lewat hidung, menghangatkan tubuhku. Aku masuk.

Mereka, orangtuaku dan adikku duduk mengelilingi api sambil mengobrol seputar cuaca. Api yang lebih besar dari kapas yang dibakar. Api yang berasal dari kayu bakar.

"Kemarilah!" seru Arkan. "Kau sama kedinginannya dengan kami."

Aku nyengir dan berjalan  menghampiri api. Api unggun di dalam rumah. Sudah lama tidak membakar api di sana. Tapi sekarang sudah hampir masuk musim penghujan, rumah kami akan lebih hangat di udara seperti ini dan akan lebih panas kalau tahu-tahu rumah kami hangus terbakar.

Perban di kaki. Aku harus membersihkan kaki terlebih dahulu untuk menghindari infeksi.

"Tunggu sebentar," kataku sambil menaruh tas dan buntelan kain.

Meskipun tubuh kotor dan berkeringat, tapi aku enggan membiarkan air menyentuh lebih dari kaki. Aku tidak akan mandi, hanya akan membasuh kaki, memastikan tidak ada lumpur yang menyelip di bagian sela-selanya.

Ketika aku masuk ke dalam rumah dan duduk dengan susah payah di dekat ibu, tak ada yang berubah. Mereka belum membuka atau mungkin menyentuh tas dan kainku.

"Lira," panggil ayah tenang. "Kau tidak bisa melakukan ini lagi, Nak. Kami tidak tega. Dan kakimu, caramu berjalan lebih buruk dari tadi pagi."

"Aku tidak sepenuh hati melakukan ini, Yah," kataku jujur. "Dan jujur saja, aku lebih senang berada di sana. Aku baik-baik saja."

"Biar ibu obati lukamu," timpal ibu.

Aku meluruskan kaki kiri dan meletakannya di pangkuan ibuku. Teringat ada perban di dalam buntelan kain, aku pun mengambilnya.

"Aku mendapatkan kain perban dan obat penghilang rasa sakit," kataku sambil menyerahkan gulungan kain ke arah ibu. "Aku juga punya bumbu untuk ibu." Kuserahkan bungkusan paling besar yang dibuat Oliz.

Lira Wana : Sampai di Indah BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang