(Pasar Gelap Setra-Utara)

148 12 0
                                    

....

Apakah ini akan jadi lebih baik? Saat aku memasuki pilar mengerikan dengan deretan tengkorak di atasnya, tak kurang dari 10 pasang mata menatapku dan sebagian lainnya sedang sibuk memilah barang-barang–seperti rongsokan. Kutundukan pandangan dan mulai memasuki area dalam, tempat yang ingin kukunjungi.

Sebenarnya aku tidak ingat di halaman depan juga dijadikan tempat transaksi jual beli barang, tapi aku lebih memilih di dalam dengan alasan mungkin akan lebih aman menunjukan bawaan di sana.

Di dalam pasar sangat pengap, dipenuhi bau-bau eneh yang saling berpadu dan agak gelap, penerangan hanya berasal dari jendela-jendela yang kelewat kotor. Pandanganku tak henti memperhatikan orang-orang yang sedang sibuk tawar-menawar hingga aku menabrak seseorang.

"Hei, Nak. Kalau jalan pakai tuh mata," bentak pria tua yang kutabrak itu sambil menunjuk-nunjuk.

"Maaf, saya–" kataku sebal.

"Dasar makhluk tak berguna," tukas pria tua itu sambil berjalan mengabaikanku.

"Saya sudah minta maaf, oke?" teriakku penuh emosi. Dasar pria tua.

Dari penampilannya, aku cukup yakin dia salah satu orang yang memiliki cukup uang atau barang untuk ditukar dengan keinginannya. Dari sikap belagunya, aku yakin banyak orang yang tidak suka padanya.

Masih dalam keadaan kesal. Aku membeku saat ada orang yang memelukku secara kasar dari belakang.

"Kau bisa lebih tenang jika menghadapiku, cantik," celetuk suara pria yang memelukku itu.

Dalam satu putaran aku berhasil melepaskan diri dan menampar wajahnya. Tamparan yang penuh bulu. Pria itu mungkin seumuran ayah, tapi berewokan di wajahnya membuat siapa pun tidak yakin dia manusia, kecuali matanya. Wajahnya dipenuhi bulu. Aku bergidik.

"Dan tamparanmu," katanya sambil berusaha mendekatiku. Aku semakin jijik dan semakin melangkah mundur menghindar, "tidak lebih bagus dari karet gelang yang putus, terlalu lembut."

"Tutup mulutmu!" sergahku tak peduli seberapa tua usianya. "Kau lihat dirimu? Aku jijik dengan tampangmu. Pergi sana!"

Pria itu hendak menamparku, tapi aku berhasil mengelak dan berjalan menghindar menuju pedagang di sebelah kiri. Beberapa ucapan kotor terlontar dari mulutnya.

"Dia mabuk," kata seorang pedagang, wanita tua yang memakai celemek ketika aku berhasil di tempatnya.

Ternyata ini bukan tempat untuk menjual lilin, tapi sudahlah ... aku juga tidak mau membeli lilin. Lebih baik menggunakan kapas dan minyak bekas penggorengan.

Ada beragam barang bagus di dalam kiosnya. Aku bisa menukar apa pun kalau saja pertukaran ini terbilang adil.

"Sepertinya orang-orang yang datang ke sini lebih suka menghabiskan waktu dengan mabuk," kataku ketus, tapi wanita tua itu terlihat baik sehingga aku harus bersikap ramah padanya.

Wanita tua itu tersenyum mendengarkan atau mungkin karena aku berhasil menampilkan wajah ramah di tengah amarah yang bergejolak, mana yang benar? Matanya memandangiku lekat-lekat, "kebiasaan buruk sulit dihilangkan, Nak."

"Sesering itukah?" tanyaku. Aku teringat beberapa orang yang berjalan terhuyung di jalanan tadi. Ternyata alasan terbesar bukan karena jalanan lembab, tapi mabuk.

"Ya, lebih dari itu ...." Tangan wanita tua itu melambai-lambai, bukan kearahku. Kuputar kepala dan melihat seorang pemuda jangkung, mungkin sekitar dua puluh tahunan. "Bersenang-senang, Nak?" tanyanya dan pemuda itu pun mengangguk kemudian duduk di sebelahku.

Aku menggeser agar punya jarak dan dia rasanya tidak keberatan. Rasanya mata itu mengawasiku, kutelan ludah dan berusaha tetap tenang. Dia juga berbicara namun telingaku rasanya disumpal kain tebal.

Lira Wana : Sampai di Indah BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang