(Dilema Lira)

79 6 0
                                    

...


Kuseret tubuhku demi mencapai daratan. Lelah, dingin, sakit, dan pusing. Aku tak bisa terus di sini. Aku membutuhkan seseorang saat ini. Ibuku, tapi tidak akan mungkin bisa mencapainya dengan jarak sekitar dua setengah jam perjalanan dengan kondisi yang seperti ini, mungkin aku bisa mencapai rumah dalam waktu tiga jam. Hanya punya satu orang lagi yang mungkin bisa membantuku, tapi aku sudah terlalu banyak merepotkannya. Mungkin sekali ini saja, aku butuh bantuannya sekali lagi. Hanya sekali lagi dan setelahnya aku berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah.

Dalam keadaan mengigil, kubungkus ikan dengan daun lebar dan memasukannya ke dalam tas. Hanya itu, tak lebih. Aku tak punya kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak makanan. Kulalui jalur lurus yang sekarang rasanya teramat jauh.

Aku kehilangan banyak energi dan gigilanku semakin menjadi karena angin yang berhembus kencang, kemungkian besarnya hujan akan segera turun. Ini reaksi yang berlebihan untuk kesedihanku, tapi pasti ini bukan hanya karena sedih, aku pasti sedang sakit saat sebelum Arkan mengejutkanku dan sakitnya semakin menjadi karena kelakuan Arkan itu. Mungkin.

Aku tidak ingat menyusuri semak darah karena saat ini aku sudah berada di tempat terbuka, tempat yang terdapat di balik sulur. Maju selangkah lagi, tapi ternyata kakiku menyerah, aku terjatuh dan tak sanggup berdiri. Kupukul kepalaku yang berdenyut dengan keras, sangat dan terlalu keras. Aku ingin berteriak memohon bantuan, tapi suaraku tertahan di tenggorokan dan hanya menghasilkan cicitan tak tertolong.

Berakhir dengan terbaring sangat lama, saat butiran lembut air hujan mulai menghujam tubuhku, aku tahu ini akan terjadi. Kuserahkan segalanya pada hujan dan berharap semoga hujan turun besar sehingga akan ada arus yang mengantarkanku ke depan pilar pasar gelap atau mungkin lebih baiknya ke depan rumahku.

Terdengar suara yang lain dari suara tetasan hujan, suara yang lebih keras dan tidak punya irama yang jelas. Langkah kaki! Langkah kaki yang cepat dan semakin keras. Ada orang yang menolongku? Siapa dia? Aku membayangkan sosok wanita yang gagal kubentuk, sosok itu gelap. Kosong.

Mungkin hanya mimpi, tapi aku merasakan kehangatan yang luar biasa di sekujur tubuhku. Apa yang menyebabkan air hujan bisa berubah menjadi hangat? Tidak pernah ada pelajaran semacam itu di sekolah dan aku tidak akan mau bergerak karena takut kehangatan itu hanya mimpi dan akan hilang begitu saja meninggalkan rasa dingin yang menusuk.

Tapi kepalaku berdenyut dan aku bergerak. Ajaibnya, rasa hangat itu tidak terlepas dari tubuhku. Tanganku meraba pelipisku yang kering dan terbungkus. Kubuka mata secepat kubisa. Ada perban menempel di kepala, aku merasakannya. Dan aku tidak berada dalam kehangatan air yang menetes dan mengalir, aku berada di sebuah tempat yang sangat indah, bersih dan luas. Aku mengenali tempat ini, seperti ....

Ini rumah Oliz. Aku berada di rumah Oliz, terbungkus kehangatan baju yang kering dan selimut yang tebal. Aku terbaring di kursi beludru berlengan yang sempat kududuki. Oh, Oliz! Terima kasih.

Aku berusaha bangun masih dengan kepala berdenyut sampai ada tangan yang memegangi lenganku. Dia membantuku bangkit duduk.

"Lebih baik berbaring kembali," kata Alan terdengar penuh perhatian. Aku menggeleng.

"Oh, Nak. Kau sudah bangun." Aku mendongak dan melihat Oliz yang berjalan sambil membawa mangkuk.

Sekarang kepalaku agak lebih jernih dan bisa mendengar dengan jelas suara hujan yang memukul-mukul atap, tapi jam berapa sekarang? Aku menatap kedua orang yang sekarang ada di hadapanku dengan tatapan bingung dan menyedihkan.

"Makan ini!" seru Oliz sambil menyodorkan semangkuk sup. "Mumpung masih hangat."

Aroma sup itu harum, terlalu harum dan malah membuatku ingin mual. Aku menahan liur di mulutku, berusaha menyumbat kerongkongan yang hendak mengeluarkan sisa makanan dan cairan di perutku. Aku tak ingin muntah di hadapan mereka.

Lira Wana : Sampai di Indah BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang