...
Aku tenggelam dalam ketakutan yang membisu. Hatiku menjerit, tapi tidak bisa kuluapkan dengan kata-kata. Ingin menangis tapi air mata enggan keluar, aku rindu keluarga, rindu tempat kotor yang menjadi rumahku.
Aku dan Besta, kami sarapan dalam diam. Sarapan yang disiapkan dari alat logam berukuran sedang. Besta juga membebaskanku dari kegiatan sampai tengah hari nanti. Aku memilih padang rumput yang terbentang luas di luar sana sebagai tempat menenangkan diri.
Sampai di alam terbuka, sekilas tempat ini seperti padang rumput di dekat pasar gelap, tapi padang rumput ini punya bangku, punya air mancur dan punya warna dari bunga-bunga yang dibiarkan tumbuh di tempat khusus. Aku berkeliling mengamati setiap jengkal pemandangan, di sini tidak ada banyak rumah seperti yang kemarin kulihat di hampir sepanjang jalanan.
Setelah berjam-jam kulewati di luar rumah, aku kembali ke dalam dan melihat Besta berdiri dengan pakaian hijau tua yang senada dengan topi, seperti seragam.
"Aku akan membawamu ke Gedung Pusat Kegiatan lebih awal," katanya sambil membenarkan letak topi.
"Apa?" tanyaku mengerutkan alis.
"Aku harus bekerja, oke. Ini giliran jagaku."
"Apa yang harus kubawa?" tanyaku memohon.
"Dirimu," jawab Besta. "Kau hanya perlu membawa dirimu, tak lebih. Mereka sudah menyiapkan segala kebutuhan satu minggumu di sana. Dan jika kau merasa kekurangan, kartu bisa membantumu."
"Oke, aku akan mandi dulu."
Aku pergi ke kamar dan mulai memilah pakaian yang nyaman, kemeja dan celana panjang. Pergi ke kamar mandi dan kini aku sudah cukup mahir mengatur kendali air di dalam bak mandi. Hingga terciumlah harum stroberi dalam bak mandiku, harum yang mengenyangkan.
Seperti sebelumnya, tak satu pun kata terlontar dari mulut Besta saat dia sedang asyik mengemudi, mengabaikan kegelisahanku atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi dia cukup pandai berpura-pura saat telah tiba di Gedung Pusat Kegiatan—gedung dengan ketinggian melebihi seratus meter dari lantai utama, Besta kembali melingkarkan tangan di pinggangku dan memberikan bisikan agar aku harus berhati-hati. Ya, dia tidak ingin nyawanya terancam, bukan karena mengkhawatirkanku.
Menit selanjutnya setelah Besta pergi untuk bekerja, kulewati dengan duduk di bangku besi yang disediakan di aula Gedung Pusat Kegiatan—ruangan luas dengan segala pernak-pernik yang menggiurkan mata perampok. Aku datang lebih awal karena belum melihat seorang pun di ruangan ini, hanya aku dan wanita dengan seragam berwarna biru tua yang duduk di balkon.
Kukeluarkan kertas dan kartu dari tas kecil yang kupinjam dari adik Besta dan mulai membaca lagi sampai suara deheman membuatku berhenti membaca. Berdiri di depanku seorang gadis dengan hidung pesek dan berwajah bulat, rambutnya seperti pelangi dan begitu pun dengan pakaiannya yang mencolok.
"Pelangi," katanya mengulurkan tangan.
Pantas penampilannya penuh warna karena namanya juga serupa, penuh warna. Dia tampak ramah dengan senyuman anehnya, dia juga punya kawat di giginya.
"Lira," balasku menerima jabatannya.
Pelangi duduk di sebelahku, dia sesekali bersenandung sambil memainkan jarinya. Jabatan tangan lain datang silih berganti, nama demi nama terlontar dari mulut mereka, meskipun aku lupa wajah siapa saja yang menjadi pemilik nama itu.Semakin lama, ruangan yang kutempati semakin desasaki banyak orang. Dari balik dinding kaca, terlihat anak-anak yang diantar menggunakan mobil unik orangtuanya. Mereka saling berpelukan dan mencium pipi—memberi perpisahan sebelum masuk—sebelum anaknya tinggal sementara di gedung besar ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lira Wana : Sampai di Indah Bara
Science Fiction"Baik dan buruk, penilaian ada di dalam dirimu." Bad leaders JANGAN DITIRU untuk segala kegiatan barbar yang terdapat di sini ya. Cerita ini bukan untuk ditiru, melainkan untuk direnungi. (Tapi kalian bisa meniru karakter Lira yang dikenal tangguh) ...