Bab 24: Permainan Azizah

13 3 0
                                    

"Baik. Saya akhiri pembelajaran hari ini. Jangan lupa belajar untuk UAS minggu depan." Ucap Pak Rusli, wali kelas XI IPS 2.

"Iya, Pak," Sahut satu kelas serempak.

Sebelum menghilang di balik pintu yang telah diamati oleh siswanya, Pak Rusli berbalik dan berseru, "Cadfael! Ikut saya ke ruang guru!"

Mampus! Sudah jelas kali ini apa yang akan dibicarakan Pak Rusli. Jawaban dari pernyataan cinta anaknya. Cadfael merasa lega karena tadi terselamatkan dengan bel masuk yang berbunyi.

"Woi! Ngapain?! Dicariin, noh sama calon mertua!" Seru Revo dari bangkunya yang berada dua bangku dari bangkunya lalu tertawa ngakak.

Cadfael berjalan ke arah bangku Revo lalu mengusap pelan rambut Revo. "Uluh... Uluh... Peliharaan gue... Makasih udah diingetin..."

"Iyalah! Baik, kan gue? Makanya ntar traktir! Terus, lo tau, nggak?" Cadfael menggeleng.

"Gue yang nyiapin acara tembak tadi buat lo! Gue ampe mohon-mohon ama Bang Marvelo biar nggak latihan sehari!" Jelas Revo dengan bangganya.

Pletak!

Bugh!

"Adoh! Sakit, bro! Napa, sih?! Kalau mau bilang makasih nggak gini-gini amat kali!" Sungut Revo.

Cadfael memasang senyum terpaksanya. Sahabatnya ini polos atau idiot? Sepertinya pilihan kedua lebih tepat.

"Revotampan jodonya Ariana Grande..." Cadfael melembutkan suaranya membuat Revo bergidik. Sahabatnya ini salah makan apa jadi begini? "Lo mau di traktir, kan?" Tanyanya. Revo mengangguk antusias.

"Oke gue traktir. Tapi janji bakal dihabisin, oke?" Revo kembali mengangguk. "Coba ambil HP lo terus lo searching."

"Searching apaan?" Tanya Revo. Searching tempat makan maksudnya?

"Ketik di situ, baygon murah yang ampuh bunuh orang yang mana, ya?"

~✿✿✿~

"Jadi? Bagaimana pendapat kamu tentang anak saya?" Tanya Pak Rusli dengan aura mengintimidasi kepada Cadfael. Pak Rusli sebenarnya bukan orang jahat, namun ia akan berubah menjadi seperti sekarang jika itu adalah hal yang menyangkut putri tersayangnya, Azizah.

"Maksudnya apa, ya, Pak?" Tanya Cadfael balik tanpa rasa takut. Mengapa ia harus takut? Ibu Neni saja yang galak dapat ia atasi. Tapi tetap saja ia harus merasa sopan kepada pria paruh baya di hadapannya ini. Kalimat menolak yang sudah ia siapkan juga akan dikatakannya kepada Pak Rusli jika memang ia membahas kejadian di lapangan.

Saat mendengar helaan napas berat nan lelah dari Pak Rusli, Cadfael menjadi heran. Apakah ia tidak sopan, tadi?

"Saya sudah tau tentang kejadian di lapangan tadi. Saya di sini bukan mau marahin kamu. Tapi saya mau bertanya dan minta tolong." Pak Rusli menjeda kalimatnya. "Saya mau bertanya. Kamu suka sama anak saya?" Lanjutnya. Cadfael diam tak menjawab.

Pak Rusli menghela napasnya lagi. "Saya tau kamu tidak menyukai anak saya," Ujar Pak Rusli yang tatapannya kini menyendu. Tunggu, ada apa ini? "Tapi saya minta tolong banget. Kamu mau bahagiain anak saya. Nggak pa-pa walau cuma sampai liburan semester ini. Pas kamu masuk sekolah, kamu bisa memilih untuk memutuskan anak saya atau tidak."

Karena tidak mendapatkan respon dari Cadfael, Pak Rusli kembali berkata, "Azizah itu gadis yang baik. Saya sangat sayang kepadanya karena hanya dia satu-satunya anak saya. Saya dan ibunya telah bercerai dari dia SD, dan dia tidak peduli lagi kepada anaknya. Susah payah saya buat dia kembali bahagia walau tanpa sosok ibu. Namun, saat masuk di SMA ini, dia sering merasa sedih karena sering dijadikan bahan lelucon oleh teman sebayanya, entah apa sebabnya, padahal awalnya saya mengira mereka semua baik kepada anak saya. Saya hanya pura-pura tutup telinga karena anak saya yang meminta. Tapi, belakangan ini anak saya kembali bahagia, dan itu karena kamu. Makasih, Cadfael. Dan, maafkan saya yang dengan tidak tahu malunya malah meminta tolong kepada kamu yang sudah membuat anak saya tersenyum." Pak Rusli menatap Cadfael penuh harap.

Too Late To Hold YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang