Lembar ketigabelas

10.7K 1.1K 181
                                    

         ...      

Satu hari setelahnya, Jimin kembali pulang kerumahnya. Yang tentu saja atas kehendak Jimin yang dipaksakan sebab Namjoon dan Seokjin agaknya sedikit kerepotan menangani Jimin yang terus merajuk ingin pulang.

Jimin tentu menang dengan sifat keras kepalanya yang mampu meluruhkan siapapun. Sesi paksa-menolak itu dimenangkan oleh Jimin yang berseru bangga setelahnya.

Jimin tersenyum tipis setelah menginjakan kakinya kembali kekamarnya. Meski di sudut hatinya, ia merasa ngilu saat tak mendapati presensi Taehyung dimanapun.

Hari ini genap tiga hari Taehyung menghilang tanpa kabar. Pun tanpa jejak apapun sebab Taehyung tak membawa satupun barangnya dari rumah, termasuk ponselnya. Yang membuat Namjoon kelimpungan setengah mati karna tak juga menemukan presensi putranya yang lain.

Jimin berjalan pelan memasuki kamar Taehyunh yang jarang ia masuki itu. Gelap menyapa saat ia melangkah lebih dalam, lalu dingin itu terasa membekukan. Kamar bernuansi biru laut itu begitu sunyi dan dingin. Dingin yang mampu membekukan Jimin ditempatnya.

"Taehyung-ah, kau dimana?" lirih pelan itu terucap saat ia menatap pigura Taehyung di atas nakas. Iris pekatnya menyorot sendu.

"Maafkan aku. Aku hanya takut Mama membawamu pergi Tae, dan... dan sekarang Mama benar-benar membawamu pergi." getar berbeda itu terasa disetiap penggal kalimat yang Jimin keluarkan. Rasanya bahkan lebih sesak daripada saat ia sakit.

Jimin masih bergeming ditempatnya. Tak menyadari presensi Namjoon yang memasuki kamar Taehyung, melangkah pelan menghampirinya. Lalu, tepukan pelan dibahu Jimin membuat pemuda itu menyadari presensi Namjoon.

"Papa." Jimin berbalik, menatap Papanya dengan iris sayunya yang berbingkai kaca. Rasa-rasanya pun sesaknya ikut tumpah saat menangkap sorot sendu Namjoon.

Namjoon menarik bahu Jimin, membawanya untuk duduk ditepi ranjang Taehyung. "Jimin-ah.." lirih pelan itu membuat afeksi Jimin berpindah sepenuhnya, menatap Papanya. "Kita akan menemukan Taehyung, dimanapun dia. Papa janji akan menemukannya, dan Papa jamin Taehyung baik-baik saja. Dia anak yang tangguh bukan."

Sudut bibir Namjoon terangkat setelah mengucapkan penggal kalimatnya. Ia mengusap sayang bahu Jimin. "Tapi sebelum itu, bukankah kondisimu yang harus diperhatikan? Kau harus banyak beristirahat."

Jimin berpejam sejenak, saat tangan besar Namjoon mengusak lembut puncak kepalanya. Menikmati nyaman yang hadir saat usapan lembut Namjoon menenangkan perasaannya.

"Papa..." panggilan lirih itu Jimin ucapkan tanpa membuka pejam matanya. "Aku ini... benar-benar tidak berguna bukan? Aku sangat menyedihkan."

Tangan Namjoon berhenti mengusap puncak kepala Jimin. Membuat pejam Jimin terbuka setelahnya. Ia menatap Jimin sendu dengan perasaan sesak yang tak mampu ia jabarkan.

"Bukankah sudah Papa bilang, kau dan Taehyung selalu membuat Papa bangga. Kalian berharga bagi Papa." Namjoon mencoba menarik seulas senyum. "Kau berharga Jim, kau istimewa dengan kelebihanmu."

"Membuat orang lain susah, apakah itu kelebihanku, Papa?" ujar Jimin dengan getar hampa yang ia lontarkan. "Aku hanya menyusahkan Papa sejak kecil. Aku juga tidak bisa menjaga Taehyung. Bahkan Taehyung yang selalu melindungiku sejak kecil."

Ada getir yang coba Jimin samarkan disetiap ujarnya. Sorot miris dikedua netra sayunya mencerminkan perasaan rendahnya pada dirinya. Tapi mau sebaik apapun menyangkal, dirinya memang tidak berguna. Hadirnya hanya menambah susah bagi orang-orang tersayangnya. Sakitnya pun ikut menjadi derita Ayah dan saudara kembarnya.

Mikrokosmos [Twins Brother]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang