5

30 2 2
                                    

"Aku tidak punya hak untuk menentukan dengan siapa aku menikah. Jadi, jika tuan muda Gege ingin menikahiku, tolong belajarlah dengan rajin dan lebih kuatlah lagi, agar bisa membawaku pergi dari tempat ini. Ke manapun tuan muda mau", ya, ini adalah ucapan paling bagus kuucapkan untuk sekarang. Lagi pula, semakin dia besar dan banyak orang yang dikenalnya, dia akan lupa padaku. Jadi, aku tidak perlu khawatir seperti apa perasaannya padaku.

"Benarkah?", wajah penuh harapan itu membuat hatiku menghangat dan semakin menghangat. Siapapun yang berada diposisiku pasti akan luluh pada sikap manis anak tiga belas tahun ini.

"Ya, itupun jika tuan muda Gege masih menginginkanku", kuharap dia membenciku, karena aku mulai menyayangi kepergiannya yang cukup lama itu. Dia satu-satunya orang yang bisa menghiburku dan alasanku bertahan sampai sekarang. Seberapa lamapun dia memintaku untuk menunggu, aku akan melakukannya dengan sabar.

"Aku berjanji akan lebih rajin belajar dan lebih kuat lagi, Yi. Jadi kumohon, tunggu aku", dia selalu memohon padaku, padahal tak ada yang mengajarkannya kalimat serendah itu. Dia seperti matahari sedangkan aku seperti tanah yang jaraknya tak terhitung jari jauhnya. Tentu saja kata memohon itu tak pantas untukku. Semesta maafkan aku yang telah mengambil tempatmu dari anak polos ini.

Aku berjongkok di depan tuan muda Gege, menggenggam kedua tangan dan mencium telapak tangannya, lembut dan sewangi bunga Peony ini. Sebelum menatapnya wajahnya yang sudah semerah tomat karena perlakuan manisku.

"Aku akan menunggu tuan muda Gege, selama yang tuan muda minta", aku berusaha tersenyum semanis mungkin untuknya.

Pluk

Tuan muda Gege memeluk leherku dengan eratnya, membuatku sedikit kaget karena ia menangis sesegukan.

"Terimakasih, terimaksih, terimaksih", disela tangis senangnya itu, ia semakin erat memelukku. Tentu saja aku merasa tercekik. Tapi, untuk meredakan tangisannya dan ucapan terimakasihnya yang tak henti-hentinya dia berikan padaku lebih penting. Dia selalu bersikap kuat di depan semua orang, bahkan neneknya yang merawatnya. Berbeda jika bersamaku, dia akan sangat manja. Mungkin karena delapan tahun lalu, saat kami pertama kali kami bertemu dia mulai seperti ini. Selalu jujur padaku.

Flashback

Tok tok tok

Tangan kecilku mengetuk pintu pelan, sambil meremas ujung bajuku. Saat suara bariton pemilik ruangan itu mengijinkanku masuk, aku sedikit pelan mendorong pintu yang tak dikunci ini. Mengintip sebelum masuk ke dalam dan kembali menutup pintu. Mencoba menguatkan langkahku menghampiri seorang pria yang sibuk dengan tumpukan buku dan lembaran kertas di atas meja kerjanya.

"Ayah, bolehkah Yi ikut ibu ke mansion nenek?", dengan kepala menunduk menanyakannya pada seorang pria yang tengah sibuk menulis sesuatu di buku di atas mejanya. Dia tak melirik ke arahku, hingga aku melepaskan pandanganku sekilas darinya ke luar jendela di mana tengah turun salju untuk menenangkan diriku.

"Ke mana kau menatap saat bicara?", aku menolehkan kepalaku cepat untuk menatapnya dengan berani setelah mendapat keberanian dari pemandangan dingin di luar rumah.

"Bersikaplah yang baik dan jangan menggigit tuan muda Gege jika kau menemuinya", itulah jawabannya. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum lebarku dan dengan cepat berterimakasih sebelum keluar dari ruangannya.

Aku meniup udara dengan kencang sambil menutup mataku, menghabiskan rasa senangku yang ingin berteriak kegirangan dan hendak berlari mengelilingi rumah ini. Ini pertama kalinya aku akan keluar rumah. Aku akan meminta ibu menitipkanku di rumah nenek selama liburan ini, hanya sendirian karena Dezellia akan ikut ibu ke luar negeri, sedangkan kak Seana masih sekolah.

Sesampainya di mansion nenek, aku sedikit kaget karena yang menyambut kami hanya kepala pelayan. Penasaran, aku ikut mendengar ke mana semua orang di mansion sebesar ini saat kepala pelayan Xen menjelaskan keadaan mansion pada Ibu. Nenek masih syok dengan kematian tuan Allan beserta istrinya karena kecelakaan, itu membuat nenek harus istirahat di kamarnya beberapa minggu ini. Sedangkan tuan muda Gege mengurung diri di kamar setelah dibentak oleh neneknya karena selalu menanyakan di mana kedua orang tuanya.

"Yi, apa kau ingin kembali ke rumah?", tanya ibu yang merasa tak enak menitipkanku di mansion nenek karena suasana yang masih canggung ini.

"Tidak bisakah Yi menghabiskan liburan di sini? Nenek punya danau yang bagus di belakang mansion", mohonku.

"Aku tidak keberatan menjaga nona Yi selama liburan ini, lagi pula nyonya Elise tak keberatan jika salah satu cucunya menginap di sini", ucap kepala pelayan Xen. Ibu menghembus nafas berat sambil memijit batang hidungnya pelan untuk berpikir sebentar.

"Jika ada kekacauan tolong telpon suamiku untuk menjemputnya", ucap ibu, memberikan kertas berisikan nomor telpon ayah, sebelum pergi membawa Dezellia yang masih berusia lima tahun itu.

"Ayo nona Yi, aku akan mengantarmu ke kamarmu", Xen mendorong punggungku pelan agar mengikuti langkahnya yang membawa koper berisi pakaianku, menaiki sebuah tangga menuju ke lantai atas. Kami memasuki koridor yang punya banyak arah, tapi Xen selalu mengambil jalan paling terakhir. Mungkin agar aku mudah mengingatnya.

"Katakan apapun yang kau butuhkan, aku selalu ada di dapur jika kau membutuhkanku", ucapnya saat membukakanku sebuah kamar disamping kamar paling ujung. Kamar ini sangat besar dan sedikit kuno (padahal desainnya sangat elegan, maklumi anak kecil ini).

"Terimakasih tuan Xen, aku berjanji akan menjadi anak baik selama tinggal di sini", janjiku dengan lidah yang hampir terlilit saat mengucapkannya dengan cepat.

"Bagus", ucapnya mengelus kepalaku lembut dan hendak keluar dari kamar ini setelah meletakkan koperku di samping kasur.

"Tuan Xen", panggilku sebelum ia pergi.

"Kalau boleh tahu, siapa yang ada di kamar ujung?", tanyaku penasaran.

"Ah, itu tuan muda Gege. Jangan sungkan menyapanya jika nona Yi bertemu", jawab tuan Xen sebelum pamit pergi. Aku hanya mengangguk-angguk paham dan tak sengaja melihat seseorang mengintip dari pintu kamar ujung yang baru saja kumaksud.

"Apa kau tuan muda Gege?", tanyaku, mencoba menghampirinya. Tapi, pintu itu tertutup dengan cepat. Apa-apaan itu? Aku hanya bertanya.

Lupakan, sekarang aku bebas dan sekarang waktunya menikmati liburku. Aku tak bisa berhenti tersenyum saat melipat kertas dan bernyanyi saat mandi, lalu melompat-lompat di atas kasur saat malamnya. Ini sangat menyenangkan! Kuharap, besok akan semenyenangkan ini juga.

Kali ini aku terbangun karena cahaya matahari yang menyorot kedua kakiku, bukan suara teriakan dan pecahan piring seperti di rumah biasanya saat ibu dan ayah bertengkar. Aku tak bisa berhenti tersenyum dan tertawa seperti kemarin, memakai pakaianku setelah mandi dan sarapan pagi dengan pancake penuh madu dan buah blueberry. Setelahnya, aku akan ke danau belakang mansion sambil berlarian mengejar kelinci yang entah datang dari mana sampai siang.

Setelah makan siang, aku mulai bosan. Di luar tengah turun badai dan aku dilarang untuk bermain keluar sampai badai reda. Tapi, badai tak menunjukkan kapan akan redanya dengan salju lebat yang masih sama selama berjam-jam. Aku memutuskan untuk kembali ke kamarku untuk membaca beberapa buku dongeng yang kubawa dari rumah. Ya, ayah selalu membelikanku banyak buku dan aku mulai menyukainya sejak mengetahui isinya.

Ah, ini hari kedua aku tinggal di sini. Tapi aku belum pernah melihat tuan muda Gege. Aku hanya melihat pelayan mengantarkan makanan dan pakaian bersih, setelahnya membawa keluar piring kotor dan pakaian kotor saja. Aku mengambil krayon dari dalam koperku dan menuliskan "Hai" di kertas kosong yang kuambil dari dalam laci meja di kamar ini. Dengan dua krayon merah di tanganku, aku pergi ke depan pintu kamar tuan muda Gege.

Tok tok

Aku sengaja mengetuk dua ketukan dan menyelipkan kertas yang sudah kutulis itu beserta satu krayon lewat bawah pintu yang memiliki sedikit celah. Sekarang ayo tunggu ikan itu memakan umpannya.

Tbc

1% MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang