4

41 4 8
                                    

Peraturan kelima belas, rapikan pakaianmu dan jaga agar tetap bersih.

Memasukkan ujung kemeja ke dalam rok hitam selutut, memakai rompi dan mengikatnya seerat mungkin. Merapikan rambut dan memasang sedikit bedak sebelum keluar dari kamar mandi. Menuju pekarangan mansion dan menaiki tangga gazebo.

Peraturan kesepuluh, lakukan semuanya dengan sempurna.

Duduk di depan piano dan menarik nafas dengan tangan yang sudah bersiap menekan tuts piano. Tanpa tekanan atau bayangan selain angka-angka kelanjutan nada waltz yang dengan rapi tersusun dalam otak. Menikmati setiap hitungan berulang yang perlahan melambat, sampai pada tuts terakhir penutup musik klasik ini.

Peraturan kelima, tersenyumlah.

Lalu tundukkan kepalamu saat tepuk tangan itu hanya untuk musik, bukan bakatmu. Turun, dan hampiri sebuah meja seakan-akan seseorang tengah menunggumu.

"Permainan yang bagus", sapaan formalitas yang manis.

Peraturan kedelapan, bicara yang pelan, tidak lebih atau kurang.

"Terimakasih", masih dengan senyuman formalitas yang sama dan mengambil segelas jus jeruk di atas meja. Menikmati sekitar yang sibuk berbincang tentang uang dan kekuasaan, sedangkan duduk di pojok sendirian seperti patung. Menikmati acara formal yang tidak menguntungkan ini dengan senyuman palsu. Tidak, semua tamu di sini memang tersenyum palsu dengan kebanggaannya masing-masing.

Uang yang banyak, pelayan yang patuh, jabatan yang tinggi. Semua orang di sini punya itu, selain diriku. Bahkan kepala pelayan mansion ini lebih tinggi jabatannya ketimbang diriku, begitupun dengan gajinya. Tidak memiliki uang, pembangkang, tak berpengaruh apapun dalam acara ini. Apa yang sebenarnya kulakukan?

Saat acara makan siang mulai berlangsung, seperti biasanya. Nyonya Hera-lah yang membacakan pemberkatan, karena paling tua setelah nenek di sini.

"Kudengar nyonya Eva akan berbesan dengan nyonya Renna", itu nyonya Geall yang bicara, ibu dari nona Leass dan istri dari tuan Heon.

"Ya, kami menjodohkan Ayili dengan anak Renna, Acellio", jawab ibu, aku mendapat tatapan jijik dari nona Leass saat itu juga, ditambah wajah kaget tuan muda Gege.

"Kudengar anak tunggalnya itu kepala koperasi perusahaan ternama di kota Margarret, nyonya Eve sangat pintar mencari menantu", puji nyonya Geall yang terdengar bodoh di telingaku. Kini semua orang berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arahku. Tuan muda Gege terlihat geram, sedangkan kak Seana yang diam.

"Bagaimana sekolah melukismu, Yi?", tanya nyonya Hera, menghentikan pembicaraan yang sangat menyebalkan bagiku itu. Untungnya, nyonya Hera mengerti dan menanyakan kabarku seperti biasanya.

"Aku akan ikut pameran tahun ini, suatu kehormatan jika nyonya datang dan melihatnya", dia tersenyum tipis dan menatap tajam ke arah tuan muda Gege yang sibuk menghabiskan puding dalam mangkok dengan wajah kesal yang tertahan.

"Tuan muda Gege, bukankah ada yang ingin kau sampaikan?", aktivitas bocah tampan berusia tiga belas tahun itu terhenti dan mengambil tisu untuk mengelap dagunya yang berlepotan sebelum bicara.

"Mohon perhatian", tuan muda Gege memukul gelasnya dengan sendok pelan, membuat keheningan dalam acara yang diisi oleh dua puluh orang ini. Dan menoleh ke arah tuan muda Gege dengan penasaran.

"Aku akan pergi ke luar negeri untuk belajar selama empat tahun. Seperti biasa, tanggung jawab akan diberikan pada nyonya Hera. Apa ada yang keberatan?", aku bisa melihat wajah marah semua orang kecuali tuan muda Gege dan nyonya Hera di sini.

"Tuan muda Gege, izinkan aku ikut denganmu", kali ini seseorang anak laki-laki yang dua tahun lebih tua dariku mengangkat tangan kanannya, tuan Evan anak terakhir dari tuan Erik dan nyonya Cassena yang belum pernah mengemukakan keberatan atau pendapat mereka secara terang-terangan. Bisa dibilang, keluarga yang satu itu sangat berhati-hati.

"Evan, bukankah nilai kakakmu Cannia lebih baik darimu. Bagaimana kau akan menemani tuan muda Gege yang bahkan lebih baik dari Cannia?", sama dengan Dezellia, nona Cannia yang bekerja sebagai kepala rumah sakit itu cepat tersinggung dan menghentikan makannya saat mendengar ucapan ayahnya Erik itu.

"Apa kak Evan benar-benar mau menemaniku?", tuan muda Gege menengahi perdebatan itu dengan cepat, begitu pun dengan anggukan tuan Evan yang sangat cepat. Bisa dibilang, tuan Evan memiliki posisi yang hampir sama sepertiku. Hanya saja, dia beruntung karena seorang pria yang artinya pasti mendapat warisan besar ini. Bisa kusimpulkan, tuan Evan tengah bergerak lebih awal untuk mempengaruhi tuan muda Gege.

"Jadi, apa tuan Erik tak keberatan jika aku membawa kak Evan?", permintaan tuan Gege adalah mutlak yang wajib dituruti. Aku bisa melihat wajah senang tuan Erik yang tertahan dan wajah kesal nona Cannia yang dilangkahi oleh adiknya sendiri. Semua orang di sini mulai berlomba memperebutkan perhatian tuan muda Gege, setelah surat warisan nenek keluar tiga tahun yang lalu.

"Jika itu yang tuan muda inginkan, tolong jangan enggan menghukumnya jika melakukan kesalahan", lihat, tuan Erik berusaha ragu-ragu, aktingnya sangat sempurna. Nenek tak menanggapi apapun selain duduk termenung dengan tangan gemetar menyuap sesendok buburnya. Mungkin tuan muda Gege sudah memberitahu nenek atau nyonya Hera-lah yang memohon. Aku tidak tahu apa rencana nyonya Hera selama empat tahun tuan muda Gege akan pergi, yang pasti jika semua orang marah. Itu bukan hal baik bukan?

Setelah pembicaraan tegang itu, suasana kembali seperti biasanya saling menyinggung dan terkekeh pelan. Setelah makanan di piringku habis terlebih dahulu sebelum orang-orang di meja makan besar ini, aku pergi ke kamar mandi untuk melakukan hal yang biasanya akan kualami jika terlalu lama dalam keramaian

Hueeek

Ya, aku memuntahkan semua makanan yang baru kumakan ke toilet, sampai perutku kembali kosong dengan rasa mual yang masih ada. Setelah mencuci tangan dan mukaku, aku menatap wajah pucat pasiku di cermin sambil menyeka air yang hendak menetes dari daguku.

"Yi, kau baik-baik saja?", suara itu membuatku terlonjak kaget sekaligus menoleh ke asal suara. Sebenarnya aku sudah tahu kalau tuan muda Gege akan mengikutiku, tapi aku tak menyangka dia ikut masuk ke dalam kamar mandi.

"Mau bicara di luar?", tawarku sambil berjalan ke pintu keluar, karena merasa tak enak bicara dengan orang sepentingnya di tempat kotor, walau kamar mandi ini berdesain elegan. Tetap saja, ini kamar mandi dan terkesan kotor. Ini bukan tempat di mana seorang bangsawan seperti tuan muda Gege bicara.

"Ikut aku", dia menarik tanganku dengan terburu-buru keluar dari kamar mandi sambil menoleh ke sekitar dengan hati-hati membawaku masuk ke dalam mansion. Tuan muda Gege terlihat menggemaskan saat memastikan tak ada yang melihat kami, tapi dia tak menyadari ada dua orang yang tengah mengejar kami dari kejauhan secara sembunyi-sembunyi. Aku tak berminat memberitahunya. Selama aku tahu siapa yang mengikuti kami, itu sudah cukup.

Ia membawaku masuk ke ruang kerja lama ayahnya dan mengunci pintu ruangan kedap suara ini. Lihat, aku tidak perlu memberitahunya karena yang mengikuti kami tak akan mendengar pembicaraan ini.

"Apa yang ingin tuan muda katakan sangat penting sampai-sampai membawaku ke tempat istimewa ini?", tak ada yang pernah memasuki ruang kerja tuan Allan sejak kematiannya, hanya tuan muda Gege yang memiliki kuncinya.

"Berjanjilah padaku", dia sedikit terburu-buru dengan degup jantung cepatnya yang bisa kudengar. Kedua pipinya sedikit merona saat mengucapkan itu, dengan kedua tangan dinginnya yang menggenggam tangan kananku.

"Janji seperti apa yang tuan muda Gege inginkan dariku?", aku berusaha selembut mungkin agar kegugupannya hilang. Tapi, bukannya tenang, ia malah semakin gugup dan menundukkan kepalanya karena rona merah itu sudah sampai di telinganya. Jika Li yang melihatnya, dia akan menertawakan bocah tiga belas tahun ini.

"A-aku akan pe-pergi-",

"Tuan muda, tenanglah. Aku tidak akan pergi ke mana-mana", sekali lagi, aku mencoba menenangkannya ketimbang mendengarkan suara gagapnya yang tak jelas itu. Ia menghembus nafas dan menariknya pelan sebelum menatapku dengan serius, tanpa melepas genggamannya kedua tangannya padaku.

"Berjanjilah, kau tidak akan menikahi siapapun selain aku", kuharap tak ada penyadap suara di sini.

Tbc

1% MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang