"YA TUHAN!",
Aku mendengar seseorang menjerit, itu seperti suara parau kak Seana. Tapi, kenapa aku tidak bisa membuka mataku dan lagi, kenapa aku tidak bisa bernafas?
"YI, BANGUNLAH!",
Aku tidak bisa, kedua tangan dinginnya pasti tengah menggoyangkan kedua bahuku. Karena sekarang aku merasa seperti terhuyung ke depan dan ke belakang.
Ia berhenti menggoyang tubuhku, aku bisa mendengar suara langkah kakinya yang terburu-buru keluar karena ada suara membuka pintu. Tolong, jangan tinggalkan aku! Ada yang mencekik leherku, aku tidak tahu apa ini. Tapi rasanya sangat menyakitkan, seakan-akan leherku ditekan hingga remuk.
Syukurlah, ada yang kembali. Tapi ada banyak langkah kaki dan sesuatu
Plak
Yup, sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku dan itu membangunkanku dengan tangan yang lemas masih memegang leherku. Apa yang terjadi?
"ANAK BODOH! APA YANG KAU PIKIRKAN DENGAN MENCEKIK LEHERMU SENDIRI!", bentak kepala keluarga Hillion yang sudah duduk di sampingku setelah menampar wajah anaknya sendiri.
"Ayah, tenangkan dirimu. Yi hanya bermimpi buruk", untungnya kak Seana terlebih dulu menurunkan tensi pria paruh baya ini. Aku tidak memimpikan apapun, kenapa aku mencekik diriku sendiri? Tapi, apa aku pantas mendapat tampar keras itu?
"Jika aku mendengar keributan sekali lagi dari kamarmu, bukan kau saja yang keluar dari mimpi, tapi keluar dari rumah ini", ancamnya yang turun dari kasur, segera keluar dari kamar ini. Aku bisa melihat wanita tua dan Dezellia mendecih sebelum ikut keluar dari kamar ini, meninggalkan kak Seana yang menarikku ke dalam pelukannya. Aku tidak bisa menahan bulir air mataku yang masih syok berat dan mengelus pelan pipi kiriku yang masih memanas dan berkedut sakit.
"Kau baik-baik saja?", khawatirnya sambil mengelus kepalaku dengan lembut. Ya, aku bisa melihat bercak jari yang membiru, mengalung di leherku dari pantulan cermin besar yang tergantung di dinding seberang kasur. Aku belum pernah merasa semarah ini, sampai-sampai mencekik diriku sendiri.
"Aku ingin mandi", melepas pelukan kak Seana dan turun dari kasur. Aku tak berani menatap wajah kak Seana sekarang, itu hanya akan membuatku sedih setelah ia melihat hal menjijikkan seperti apa yang kualami.
"Yi, maaf mencekikmu", hanya itu yang bisa kuucapkan saat dinginnya air dari shower mengguyur punggungku.
"Bagaimana dengan pipimu? Besok kita akan pergi bukan?", padahal aku tengah meminta maaf, tapi ia hanya memikirkan formalitas besarnya.
"Tenang saja, aku akan memakai bedak dan menutup leher ini dengan sweater berleher panjang", dari pada membawanya berdebat dengan hal yang pasti akan dimenangkannya, sebaiknya aku diam untuk kali ini. Tapi, rasanya sangat menyakitkan untuk memikirkan seberapa bencinya Ayi padaku.
"Lihat Yi, badanmu penuh bintik merah. Apa pandapat orang lain jika melihat ini?", ucapku hendak memakai pakaianku di depan cermin wastafel, dengan senyum miring. Tak ada tanggapan darinya, bahkan setelah aku selesai memakai bedak dan keluar dari kamar mandi dengan wajah ceria seperti biasanya.
Kak Seana kembali tertidur di kasur dengan pulas, aku menarik selimut untuknya sebelum keluar kamar dengan membawa jaket dan sneaker hitam putih. Matahari belum menunjukkan jari-jarinya di ufuk timur, karena ini masih jam tiga pagi. Yup, aku melanggar peraturan ketujuh belas. Meminta izin sebelum keluar rumah.
"Aku ingin merokok", itulah yang kuucapkan dengan nafas berat berjalan di trotoar jalan yang sepi ini, sambil sesekali meniup tanganku yang mengigil kedinginan sebelum memasukkannya ke dalam kantong jaket.

KAMU SEDANG MEMBACA
1% Mistake
AksiKau ingin aku menjadi apa? Masokis? yang suka disakiti Maniak gila? yang selalu mengejarmu Atau Psikopat yang berpura-pura manis dan membunuhmu perlahan sampai mati. Ayo katakan, aku bisa berperan seperti yang kau inginkan. Tapi itu tidak gratis, te...