x

25 0 0
                                    

Setelah pagi yang panjang membujuk tuan muda untuk mengangkat telpon dari Ayi, aku masih memegang telinga panasku.

"Aku terlalu memikirkannya", gerutuku sambil menepuk kedua pipiku, berharap bisa melupakan apa yang kudengar pagi ini.

"Tidak kau berpikir bahwa ia akan tumbuh besar begitu cepat?", apa Ayi baru saja menggodaku sepagi ini? Eh, ternyata ini sudah hampir siang.

"Kurasa bocah itu akan mati muda", aku pergi ke kamar mandi untuk menyikat gigiku. Dan setelah mencuci wajahku, aku mengambil hoodie maron dalam lemari pakaianku.

"Jangan mengajakku bertengkar Li, kau tahu apa yang akan terjadi jika aku mengamuk", peringat Ayi yang ternyata mendengar gerutuku.

"Ke mana kau akan pergi?", aku baru saja memakai hoodieku dan dikagetkan oleh suara seorang wanita yang berdiri di tengah pintu kamarku tanpa mengetuk pintu sebelum membukanya.

"Yi, apa kau punya ide untuk menghentikan sikap kurang ajar para pelayan di sini? Aku tidak ingin cerita ini berubah menjadi majikan yang ditindas pembantu karena didiskriminasi oleh keluarganya", aku memakai sepatu sport putihku, mengabaikan pelayan itu.

"Nyonya bilang kau harus diam di kamar, keluarga Hrous akan berkunjung", ia berteriak tepat di depan wajahku. Kurasa, aku terlalu pendek untuk menjadi seorang penindas.

Ayi menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinganya sebelum menghampiri wanita itu dan-

Plak

"Akh!-" wanita itu meringis kesakitan memegang pipi kirinya yang memerah setelah menerima tamparan dari Ayi yang tiba-tiba itu.

"Aku memaafkanmu untuk hari ini. Lain kali, jika kau tidak mengetuk pintu terlebih dulu, kupastikan tanganmu yang putus", tegas Ayi sebelum menabrak pelayan wanita itu hingga terhuyung ke samping.

"Aku tidak menyangka kau bisa sekasar itu pada seorang wanita, bahkan lebih tua darimu", sinisku sambil menyamai langkah Ayi di trotoar jalan.

"Maksudmu terimakasih", sinis balik Ayi sambil memasang earphonnya, memutar lagu freaking out yang dinyanyikan Spencer Shuterland saat menaiki bus yang tepat singgah di halte bus dan duduk di kursi nomor dua samping jendela.

"Apa kau punya alasan jelas untuk tak membuat wanita tua itu marah?", aku melepas sebelah earphon Ayi, membuatnya melirik malas ke arahku.

"Aku tahu kau menyukai pria dewasa Li, tapi aku punya temperamental saat melihat wajah tuan Acellio", suaranya datar sebelum kembali memasang earphonnya yang terlepas dan melihat ke luar jendela bus dengan wajah murung. Entah apa yang dipikirkannya, tangannya sangat dingin saat aku menyentuhnya.

Kami sampai di depan kafe kecil yang kami bangun bersama dari uang tuan Richard. Ayi tersenyum tipis saat membuka kunci pintu kafe dan mulai menyalakan lampu. Ia memakai celemek dan membersihkan kafe sebelum membukanya.

Lagu for elise karya Saint Motel menggema dalam ruangan ini. Aku bisa melihat wajah riang Ayi yang tengah mengelap meja dari pantulan pintu kaca kulkas.

"Ini hari pertama kita buka, akan ada banyak pelanggan", antusiasku setelah menempatkan papan buka di depan pintu masuk kafe. Aku beru mengingat sesuatu, janji kami pada tuan Richard.

"Ayi, apa kita akan mengantar segelas kopi untuk tuan Richard?", tanyaku karena Ayi hanya duduk di depan kursi kasirnya.

"Tidak, aku sudah bilang padanya untuk datang kapanpun dia mau, atau menyuruh seseorang ke sini untuk mengambil pesanannya", jawab Ayi yang membuka ponselnya.

"Tunggu sebentar, aku akan mengangkat telpon tuan muda Ge-", belum sempat Ayi menyelesaikan kalimatnya, aku merebut ponselnya cepat dan membantingnya ke lantai.

"Li, apa yang baru saja kau lakukan?", bahkan wajahnya juga datar, melihat nanar ke arah ponselnya yang terberai dengan layar yang pecah.

"Ah maaf, aku menjatuhkannya", bohongku. Aku tak ingin mendengar suara bocah itu, suasana hatiku akan hancur karenanya.

"Kau akan memperbaiki ini kan?", tanya Ayi, sambil memungut ponselnya.

"Um, ya. Aku akan memberitahu kak Seana", apa yang akan kukatakan pada kak Seana, dia baru saja membelikanku ponsel ini tahun kemarin dan aku merusaknya dengan gampangnya.

"Atau kau ingin bekerja keras untuk membelinya sendiri dengan uangmu?", ide yang bagus, Ayi. Perlu waktu lama yang akan membuatku tak mendengar suara bocah itu.

"Aku akan berhenti bergantung pada kak Seana, jadi biarkan aku menggantinya untukmu", aku sedikit ragu mengucapkannya karena itu terdengar sulit dilakukan.

"Kau membuatku kembali menggunakan mp3 player lamaku", ucap Ayi, membuatku teringat dengan apa yang terpenting dari memiliki ponsel, musik.

"Setidaknya tuan Acellio tak bisa menelponmu", sial, aku menekan tombol meledaknya, sekarang Ayi menatap tajam ke arahku.

"Apa kau bilang Gegeku?", ini pertama kali aku melihat tingkah posesif Ayi.

"Kurasa ini adil dan kau-"

Kring Ting Ting

Itu suara lonceng angin yang kami pasang di samping pintu, pertanda seseorang membuka pintu masuk kafe. Kami menoleh ke arah pintu, dan menemukan seorang pria tinggi sambil melepas mantel krim yang dipakainya, berjalan menghampiri kami.

Wajah Ayi berubah masam saat melihat wajah pria itu lebih jelas dari dekat, tapi ia tersenyum manis seolah-olah gerutuannya hanyalah sebuah kalimat yang dibacanya dalam kertas.

"Tuan Acellio!", kagetku. Pantas saja

"Bagaimana tuan bisa tahu tempat ini?", siapa lagi kalau bukan wanita tua itu kan, tidak mungkin kak Seana kan.

"Kau pasti sudah tahu jawabannya", ia membuatku terdengar bodoh dengan pertanyaan sebelumnya. Dia duduk di kursi depan kami dan membuka buku menu kafe.

"Apa kau butuh bantuan?", Ia bertanya, tapi matanya terfokus pada daftar minuman dan makanan penutup pada buku menu.

"Tidak, terimakasih sudah bertanya. Apa ada yang kau inginkan?", aku menjawabnya sebelum decihan Ayi terdengar oleh tuan Acellio.

"Apa kau punya waktu senggang malam ini?", aku tahu dia akan menanyakan itu, tapi kenapa ia bisa tertarik pada gadis aneh sepertiku? Aku yakin Ayi tak menyukai ini.

"Lain kali akan kuberitahu", aku cukup kaget dengan jawaban Ayi. Apa itu sebuah jebakan atau ia punya rencana?

"Baiklah, kau bisa menelponku untuk itu", ia bangkit dari duduknya, bersiap untuk pergi.

"Kalau begitu, sampai jumpa lagi. Aku akan menunggu telponmu", aku sedikit canggung menghentikan langkahnya untuk memberitahu bahwa ponselku rusak. Apakah karena itu Ayi bermurah hati mengatakan lain kali?

"Aku benci parfumnya", sewangi bunga yang baru mekar di pagi hari itu? Apa Ayi bercanda atau Ayi memang menyukai bau yang lebih manis?

"Dia sangat maskulin", aku menangkup kedua pipiku yang menghangat, membuat Ayi berdecih tak suka.

"Aku yakin tuan Acellio akan membelikanmu ponsel, jika kau memintanya", sinis Ayi. Aku tersenyum sinis mendengar itu, apakah sebegitu jalangnya diriku baginya?

"Jujur saja, aku tidak ingin mendengar suara bocah baru besarmu itu", singgungku. Bukannya marah, aku malah mendapat tawa Ayi yang ringan.

"Aku tahu itu", ucap Ayi setelah berhenti tertawa dengan senyum lebarnya. Yup, ia selalu tahu semuanya.

Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 28, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

1% MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang