4 - Knew Better/Forever Boy

60 5 3
                                    

Tema hari ke-4: Buat karya yang melibatkan hitungan mundur.

Arga mengangkat wajah, melirik Runa yang tampak fokus dengan buku pegangan di tangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arga mengangkat wajah, melirik Runa yang tampak fokus dengan buku pegangan di tangan. Seperti malam-malam sebelumnya, Runa dengan sabar dan telaten mengajarinya beberapa materi yang Arga kurang pahami (sebenarnya Arga lemah di semua materi). Untung saja jadwal malam ini tidak terlalu memusingkan. Biologi. Cenderung lebih mudah untuk diikuti ketimbang fisika atau kimia karena tidak terlalu banyak mengandalkan hitungan. Tugas Runa pun menjadi lebih ringan, karena Arga cenderung lebih cepat memahami materi.

Apa sekarang saja, ya? Arga tampak menimbang-nimbang. Di tangannya, ponsel sudah siap. Ia bahkan sudah menyusun rencana agar pose yang diminta bisa ia lakukan. Semua gara-gara dare laknat itu, Arga merutuk dalam hati. Coba saja kalau saat itu ia memilih truth. Namun, toh, entah truth atau dare rasanya sama saja. Pasti ujung-ujungnya disangkutpautkan dengan Runa. Tanpa sadar, wajah Arga merona saat mengingat kembali permainan truth or dare yang diadakan teman sekelas tadi pagi.

"Wihi!" Teman-teman satu kelas bertepuk tangan ketika ujung botol yang menjadi penanda berhenti pada Arga. "Mantul. Good luck, Ketos." Satu kelas terkikik ketika mendapati Arga manyun. Yah, semoga saja teman-temannya tidak bertanya atau menyuruhnya melakukan hal yang aneh-aneh.

"Oke. Argario Andana." Shiki yang menjadi moderator (iya, sebutannya memang moderator. Geblek memang. Dikira presentasi, apa) berdeham, menaikturunkan alis dengan ekspresi penuh makna ketika bertanya, "truth or dare?"

Ada jeda beberapa saat sebelum Arga menjawab dengan ragu, "dare?"

Hah! Arga menyeringai puas dengan dada membusung ketika dilihatnya teman-teman satu kelas berdecak gemas. Pasti ingin mengorek info tentang dirinya dan Runa. Arga sudah tahu itu.

"Oke." Shiki bertepuk tangan satu kali, mengambil toples berisi kertas-kertas kecil yang sudah digulung dan berisi berbagai macam dare. "Silakan ambil."

Arga memasukkan tangan ke dalam toples, mengambil satu gulungan kertas dan membukanya dengan raut wajah songong (literally, benar-benar songong). Hal itu tidak bertahan lama karena setelahnya Arga meledak karena malu. "Apa-apaan?" Cowok itu melayangkan protes, langsung menyesal karena sudah memilih dare ketimbang truth.

Dare: ajak orang yang pertama kali muncul di depan pintu kelas foto bareng sejak kertas ini dibuka

Penting: pipi harus saling menempel.

Kalau misal teman dari kelas lain, sih, tidak masalah. Masalahnya, kalau yang muncul itu Miss Mala, misalnya? Wah, bisa mati berdiri Arga. Atau guru lain, baik yang kalem atau sebelas dua belas horornya dengan Miss Mala. Tidak lucu kalau dia bilang begini maaf, pak atau bu, boleh minta foto? Pipinya boleh nempel, pak atau bu? Soalnya dare-nya begitu. Salah-salah bisa disetrap dia nantinya.

"Berdoa aja semoga yang muncul bukan guru, staf TU, atau satpam." Shiki menepuk-nepuk bahu Arga setelah puas terbahak bersama satu kelas.

Lima menit kemudian, saat permainan berlanjut meski Arga belum melakukan dare-nya, terdengar ketukan dari arah pintu kelas. Semua mata menoleh, mendapati Runa berdiri di depan pintu kelas dengan tangan memengang berlembar-lembar kertas. Setelah mendapat izin untuk masuk, Runa lantas memasuki kelas mereka, mendekati Arga seraya menyerahkan sebagian kertas di tangan pada cowok itu. "Miss Mala nitip," kata Runa pendek, yang disambut anggukan oleh Arga.

"Wah, kebetulan. Na, ini Arga mau min—" Belum habis Shiki menyelesaikan kalimatnya, dengan gahar Arga langsung membekap mulut temannya itu. Tak lupa, cowok itu memberi pelototan pada teman-teman sekelas, meminta agar semua orang jangan ada yang ember dulu soal dare tadi. Tak ayal, satu kelas langsung manut karenanya.

Runa, yang bingung sendiri melihat kelakuan teman-temannya di kelas sebelas IPA satu, mengernyit. "Ya?"

"Ah, bukan apa-apa." Arga dengan cepat menyambar. "Oke, nanti gue kasih berkasnya ke lo." Cowok iti tersenyum, mengangguk.

"O ... ke." Runa mengangguk, menunjuk ke arah luar. "Gue balik dulu."

Arga mengangguk. Setelah memastikan Runa benar-benat keluar dan menjauh dari area kelas, baru dia berkata, "Shiki, lo jangan ember, dong, ah." Arga menyentak, merengut.

"Lho? Aku kan cuma mau bikin ini jadi mudah." Shiki balas merengut. "Kenapa nggak sekalian aja, sih, tadi? Mumpung Runa juga. Kan sekalian mendayung dua tiga pulau terlampaui," celetuk Shiki yang mana langsung mendapat dukungan dari satu kelas.

Dahimu! Arga merutuk dalam hati. "Ya, ya. Trus fotonya beranak pinak gara-gara kalian juga ngambil masing-masing satu pakai hape sendiri-sendiri," sindir Arga, membuat satu kelas meringis. "Kasih gue batas waktu sampai besok," pinta Arga penuh harap.

Butuh beberapa waktu sebelum satu kelas setuju. Shiki yang mewakili semuanya mengangguk, "oke, deh. Tapi syaratnya fotonya kudu dikirim ke grup kelas—yang nggak ada Bu Teno Heika di dalamnya. Jangan protes. Masih untung di grup gibah, bukannya di grup utama atau grup angkatan. Hayo, pilih mana?"

Nggak mau semuanya, Arga menjerit dalam hati. Namun, apa boleh buat.

"Na," panggil Arga setelah memantapkan hati. Cowok itu bisa melihat Runa mengangkat wajah dan meletakkan buku di tangan ke meja. "Gue boleh minta tolong?"

"Sure." Runa mengangguk, berdiri dari bangkunya dan berjalan mendekat ke arah Arga. "Ada yang sulit?" tanya Runa memastikan.

"Bukan soal pelajaran." Malu-malu, Arga mengakui. Cowok itu mengusap leher bagian belakang, tiba-tiba maju mundur ingin memgutarakan maksudnya. Hadapi sajalah, Arga menghela napas. "Gini, tadi kelas gue main truth or dare, terus gue dapet dare. Diminta buat foto sama orang yang pertama kali muncul di depan pintu. Batas waktu ngumpul fotonya sampai besok. Nah, kebetulan orang yang muncul itu lo."

Butuh beberapa detik bagi Runa untuk mencerna sebelum mengangguk. "Hoo, I see. Ya udah. Ayo." Runa dengan cepat duduk di samping Arga, memperkecil jarak di antara mereka. "Hei, jadi nggak, nih?" tanya Runa, memastikan ketika dilihatnya Arga tampak bengong sendiri.

"Ah, iya." Arga mengangguk, membuka aplikasi kamera dan mengaturnya menjadi kamera depan. Ketika tombol ambil ditekan, hitungan mundur dimulai. Tepat saat itu juga, jantung Arga berdetak menjadi lebih cepat.

Lima.

Perlahan, Arga melirik Runa yang ada di sampingnya, mencari celah bagaimana agar pipi mereka bisa bersentuhan tapi terkesan natural—bukannya disengaja.

Empat.

Tiga.

Arga bersiap.

Dua.

Satu.

Tepat saat hitungan mundur berakhir, dengan cepat Arga menempelkan pipi mereka berdua. Efeknya: jantungnya berdetak lima kali lebih cepat dan pipi merona merah, yang saking malunya, mungkin sudah semerah tomat sekarang ini.

Begitu pula dengan Runa.

The Light is Coming: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang