WARNING! 21+
Ghina Indira Kamania mengambil risiko besar melepaskan segala hal yang susah payah diraih, karena ingin menjuh dari Tayga. Tunangan sekaligus partner dari agensi arsitek kecil-kecilan yang dijalankan bersama.
Dia cuma hidup tenang. Tid...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
*
*
Selamat membaca
*
*
"SILAKAN." Alfa mengulurkan tangan ke arah pintu sambil berdiri miring, dan Ghina ikut memosisikan diri miring lalu jalan dengan canggung. Tempat itu cukup luas untuk dua orang berposisi normal, bukan tempat sempit seperti di samping kedai kopi. Entah untuk apa, keduanya kompak melakukan itu.
Alfa terus menatapnya, dan Ghina makin waspada.
Pintu nyaris terbuka, dan Alfa sudah membelakangi Ghina dan naik satu pijakan. Namun, Ghina melakukan ketololan yang dia sesali setelahnya.
"Eh? Kenapa naik ke situ?" Sudah telanjur, jadi Ghina memasang wajah galak ketika Alfa berbalik dengan kening mengerut.
"Kenapa?"
"Seharusnya saya yang tanya kenapa?" Ghina menjauh sedikit dari pintu lalu menunjuk tangga menuju lantai tiga itu. "Lantai itu nggak bisa dimasuki sembarang orang, karyawan saja cuma tertentu yang bisa naik. Eh. Tunggu deh..." Dia melipat tangan di depan dada, mengobservasi apa yang sedang dia hadapi. Untuk apa Alfa datang ke kantornya? "Ini bukan rumah sakit, bukan apartemen, bukan juga tempat jual kopi. Dan jarak 3 tempat itu jauh dari sini, terus kenapa Dokter ada di sini? Apa—"
Kalimat Ghina menggantung ketika terdengar derap langkah yang lebih keras dan cepat, tidak sempat melanjutkan atau memperhatikan reaksi Alfa, pemilik langkah lain itu muncul di ujung tangga. Dua pria. Satu bersetelan resmi, yang lain bergaya santai seperti Alfa. Seperti Alfa tadi, dua orang itu juga terkejut melihat Ghina.
Tidak memikirkan apa pun, Ghina segera menunduk. "Selamat siang, Pak Alby." Ketika Ghina mengangkat kepala, Alby sedang memandang Alfa—terlihat ragu. Sementara pria yang baru dia lihat melesakkan kedua tangan ke saku jaket bomber polos navy, sangat serius mengamatinya seolah dia ini fosil langka yang tidak sengaja ditemukan. Kening mengerut, memiringkan kepala, beberapa kali berdecak.
"Ab..." Alby tiba-tiba bersuara.
Dan si pria berkulit lebih putih itu langsung mengeluarkan dan menggoyangkan ponsel. "Pita telepon, nanti gue susul kalian ke atas." Kemudian, pria itu menuruni tangga sangat cepat seolah dikejar maling.
Dengan ekspresi dingin, Alby menghilangkan rasa penasaran Ghina pada pria yang turun barusan. "Selamat siang juga, Ibu Ghina. Ada hal yang penting di tangga darurat ini?" Alby mengangkat satu tangan dan melihat arloji. "Setahu saya, ini bukan jam istirahat. Dan ini bukan pantry, yang menyediakan kebutuhan buat mengembalikan kesegaran kerja."
"Saya ... baru dari lantai satu. Sengaja naik tangga biar sehat, terus nggak sengaja ketemu tamu ini. Mau naik ke lantai tiga, saya tahan. Kata Pak Gun, lantai itu bukan buat sembarang orang. Karyawan, apa lagi tamu," sahut Ghina dengan suara tegang, makin merasa bodoh dengan bualan baru naik. Tatapan tenang Alfa, makin membuatnya gugup.