1

310K 19.5K 656
                                    

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


HAL simple jadi jobless; tabungan menipis tanpa diminta.

Hal menyebalkan setelah jobless tiga bulan, dapat kerja tapi bukan passion. Kadang hidup memang sebercanda itu.

Ghina menekan kuat-kuat kedua paha dengan satu tangan, berusaha terlihat mendengarkan Pak Bobby---atasan Rukma memberitahu tentang tata kerja dan tugasnya di coffee shop ini, yang tidak satu pun masuk ke otak Ghina. Hati nya mengerang. Dia kesal bukan main, tetapi tidak punya pilihan.

Kalau terus menganggur, dia bakal sulit bertahan hidup di Jakarta.

Dia juga tidak sanggup pulang ke rumah orangtuanya di Batu, Jawa Timur, malu. Dia nekat menentang orangtua demi bersama Tyaga, kini...

Sialan! Sialan! Kenapa sih hidup gue jadi ribet bin rumit gini?!

Setelah bicara panjang lebar sampai kehabisan napas, Pak Bobby berdiri dan menyalami Ghina. "Selamat bergabung di tempat ini, Ghina."

Ghina tersenyum tipis, ikut berdiri dan menyalami Pak Bobby. Kemudian mengambil napas panjang tiga kali setelah Pak Bobby menghilang entah ke mana.

Rukma buru-buru meninggalkan mesin kopinya, berlari ke arah Ghina, tesenyum puas dan bangga. "Akhirnya kesampean juga cita-cita kita buat kerja bareng."

Ghina mencoba tersenyum, tetapi gagal. Rukma sahabatnya sejak SMA di Batu, sama-sama dapat beasiswa ke Jakarta. Bedanya kebutuhan keluarga Rukma di Batu, memaksa Rukma bekerja sambil kuliah, yang akhirnya membuat perempuan itu menyerah pada mimpi menjadi arsitek. Ironis. Kini giliran dia.

Mereka saling tatap beberapa saat, lalu Rukma berdiri di samping Ghina dan merangkul lengannya. "Gue tahu, ini sulit banget buat lo. Lo hampir meraih semua yang lo impikan, tapi sekejap lo kehilangan segalanya. Pelan-pelan aja."

"Kalau gue kehilangan segalanya dengan terhormat, mungkin nggak bakal sesakit ini."

Rukma melepaskan lengannya, berkacak pinggang, dengan kening mengerut. "Wohooo! Apa yang lo lakuin terhormat, Cong! Lo ninggalin si penjahat kelamin sekaligus kacang lupa kulit itu, ya, walaupun ujung-ujungnya dia main kotor dan buat nama lo buruk di mana-mana." Rukma melayangkan pukulan keras  dan mendorong ke depan punggung Ghina, memaksanya membusungkan dada. "Ini tuh bukti Tuhan masih sayang banget sama lo! Bayangin, kalau lo tetap berharap tuh laki berubah terus nikah. Ihhh, hidup lo rugi gede!"

"Oh ya? Rugi? Lebih gede dari kehilangan mobil dan tabungan gue? Otewe apartemen gue ini." Napas Ghina tersekat, mengingat segala kehilangannya. Tanpa sadar mengelap telapak tangannya yang mendadak berkeringat ke celana jins.

"Iya!" sahut Rukma lantang. "Nikah sama pengecut, yang modal bacot sama terong. Yakin deh, Na. Itu agensi bakal runtuh pelan-pelan. Kenapa? Selama ini lo yang atur ini itu, bukan dia."

"Ya, dan dia yang modalin uang." Pahit, tapi itu kenyataan.

Dulu Tyaga cuma laki-laki culun berduit, sasaran empuk orang-orang dari spesies benalu.

"Ih, udah ah! Jangan ngomongin dia! Sekarang lo kerja baik-baik di sini dulu, hasilin uang dulu sambil nunggu ada panggilan dari posisi yang lo lamar. Terus seka---" Mendadak kalimat Rukma menggantung, mata perempuan itu melirik jauh di balik punggung Ghina, bahkan kepalanya bergerak lambat ke sisi kiri.

"Ma, lo kenapa?"

Bibir Rukma terbuka, tapi tidak mengeluarkan satu kalimat pun. Didorong rasa penasaran Ghina berbalik dan berdiri sejajar dengan Rukma. Ada tiga pria bersneli melewati pintu coffee shop mini ini, yang kebetulan bersebelahan dengan salah satu rumah sakit besar di Jakarta.

"Rukma. Rukma. Tumben nih sepi, kayak biasa ya," seru satu dari dua pria itu, yang memakai kacamata dengan gaya rambut sengaja ditata berantakan, berkulit putih mulus layaknya artis-artis Korea.

Ghina melirik, bahkan saat posisi tiga pria itu tinggal tiga atau dua langkah lagi, Rukma masih mematung.

"Ma... Rukma...," desis Ghina sengaja mencubit punggung Rukma. Namun, tetap awas ke depan. Dua pria berhenti di depan mereka, sementara yang satu berbelok dan duduk di sudut pojok coffee shop.

David.

Andreas.

Nama dua pria itu jelas di name tag, terjepit rapi di saku sneli.

Dan Rukma masih diam.

Antara malu dan tidak enak hati, Ghina tersenyum kaku. "Maaf, kayaknya temen saya ini kesambet setan gagu. Nggak bisa jawab."

Andrean tertawa kecil, David menaikkan satu alis—seperti terganggu, dan Ghina semakin bingung.

"Dokter David. Dokter Andreas. Kayak biasa ya?" suara serak dan berat di belakang membuat Ghina menoleh. Rekan kerja Rukma yang tadi makan siang di kantor sudah berdiri di depan mesin dan toples-toples kopi. Tidak sengaja memandang kesal ke punggung Rukma.

"Iya, Do," sahut Andreas si kacamata, lalu berjalan menuju meja barista.

Sementara David, pria yang sepertinya berada di pertengahan umur 30 dengan kulit terbakar matahari, berotot besar, dan tulang rahang berbulu, mendekati dan membungkuk tepat di depan wajah.

"Rukma nggak kerusakan, tapi dia emang nggak bisa bicara." Tersenyum lebar sambil mengusap puncak kepala Rukma, lalu menatap Ghina. "Kamu anak baru ya? Baik-baik sama Rukma, jangan gitu lagi, karena dia spesial. Kalau kamu bicara, dan dia nggak jawab. Kasih note aja, suruh dia jawab lewat tulisan. Iya kan, Rukma?"

Ghina mengerjap saat Rukma mengangguk.

Tidak bisa bicara? Spesial? Ini apa-apaan sih? Ada apa di sini?

David bergabung dengan Andreas. Ghina sempat melirik Edo, yang memberi isyarat; tanyakan saja ke temen lo itu.

Rukma memasang wajah memelas, dan Ghina menggeleng sambil memutar bola mata malas. Tidak sengaja tatapannya bertemu dengan si pria di pojok coffee shop. Sosok pria dengan wajah dingin. Entah perasaannya saja, atau memang pria itu sedang memperhatikannya dengan tajam.

"Dokter Alfa, mau teh panas biasa atau smoothie stawberry?" teriakan Edo membuyarkan segala pikiran aneh Ghina. "Ah, hari ini Selasa, jadwalnya teh hijau. Oke!"

Si pria bernama Alfa itu mengangguk, lalu membuang pandangan keluar jendela sambil bertopang dagu di lutut dari hasil tumpukkan kaki panjang dan...

Ghina menggeleng pelan.

Sepertinya efek mendapat pekerjaan yang tidak sesuai passion dan sahabatnya sedang berbohong terang-terangan, memberikan efek buruk ke otaknya.

Sialan! Sialan!

Terima kasih sudah membaca!

Taburan bintang dan comment yang buanyak yaaaaaa... 👽😘😘😘

Jangan lupa follow ig

Bagaskarafamily

Flaradeviana

Love, Fla.

The RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang