•
•
Selamat membaca
•
•GHINA tertegun. Masih tidak percaya dengan perkataan Pak Gunawan. Manusia di sebelahnya juga mengalami hal yang sama, kaget, bingung, dan ... tidak senang. Ghina menggigit ujung lidah, mendorong maju bokongnya sampai ke tepi kursi, lalu mengarahkan telunjuk ke puncak hidung sendiri.
"Bapak mau saya bantu Mbak Anis buat lihat analisis proyek penginapan di Batu? Maksudnya, saya ikut ke sana? Pergi? Menginap? Dinas?"
"Iya. Proyek ini diberikan ke kita sudah hampir tiga minggu, tapi Anis masih kesulitan memuaskan klien. Klien proyek Ubud dan rumah di Pluit langsung puas sama ide-ide kamu. Siapa tahu kamu bisa membantu Anis. Klien di Batu itu riwil sekali, Anis sudah bolak-balik ke sana, tapi ada saja yang kurang. Tadi Anis datang langsung ke saya, tanya apa bisa minta bantuan kamu untuk tim Batu. Itu pun kalau kamu nggak keberatan—"
"Saya yang keberatan." Ghina dan Pak Gunawan kompak melihat sang pemilik suara. Satu tangan Ghina sudah terkepal dan bersembunyi di bawah telapak tangan lainnya. Orang ini, sama saja tidak punya hati, padahal semalam dia kelepasan menceritakan tentang sang ayah dan dilemanya mengambil cuti.
"Steven—"
"Pak Gun, sorry, kali ini saya sangat nggak setuju. Ghina bertanggung jawab dua project di tim saya, satu project baru beres di maket—masih harus persentasi ke klien. Iya, kalau langsung diterima, kalau ada revisi lagi? Belum lagi project Ubud, dia masih harus banyak diskusi sama Miko, deadline kita akhir bulan. Kita sudah janji sama Pak Abi. Dua belum selesai, mau—"
"Pak Gun, kapan saya harus berangkat ke Batu?" Ghina memotong, seperti yang dilakukan Steven sebelumnya.
"Kamis."
Pandangan Ghina bertemu dengan Steven. "Oke. Sebelum Kamis, saya pastikan project rumah Pluit beres dan klien puas, jadi bisa lanjut ke tahap selanjutnya."
Satu bibir Stvene tertarik ke atas, menggeleng lemah, terang-terangan merendahkan Ghina.
"Project Ubud? Sebelum Kamis saya selesaikan rancangan kasar sesuai hasil diskusi bareng Miko. Deadline akhir bulan, kan? Masih ada dua minggu, yang mepet dan mendadak aja bisa saya selesaikan." Ghina memindahkan pandangan Pak Gunawan, yang terlihat berusaha keras menyembunyikan seringai. "Saya nggak keberatan, Pak Gun. Saya temani Mbak Anis ke Batu."
"Ghina!"
"Cukup. Cukup." Suara Pak Gunawan sedikit tinggi, lebih tegas dari sebelumnya. Membuat Ghina dan Steven memandang pria itu, mati-matian Ghina menahan kegusaraan dan keinginan melayangkan pukulan ke Steven. "Stev, Ghina nggak keberatan dan berjanji akan menyelesaikan pekerjannya. Masalah selesai."
Ghina melirik Steven menegakkan punggung dan meletakkan kedua lengan yang besar itu di tangan kursi, wajah Steven mengeras dengan pandangan serius dan mematikan. Menakutkan. Aura sedingin Gunung Bromo menguar mengisi kekosongan di ruangan ini, mungkin lebih. Sampai bulu-bulu halus Ghina meremang, lalu memilih memandangi lantai dan berdoa tidak melihat kebangkitan Frankenstein versi modern. Lagi pula, apa sih masalah Steven ini? Ghina tahu batas kemampuannya, dan itu belum menyentuh limit. Satu atau dua proyek lagi masih sanggup dia kerjakan. Apa lagi ini satu-satunya jalan dia bisa melihat Bapak, menyatakan kehadirannya di tengah keluarga, tanpa memikirkan potong gaji. Proyek ini di Batu. Dia kenal Batu. Pasti akan mudah untuknya memberika ide cemerlang untuk proyek itu.
"Kalian bisa lanjutkan pekerjaan masing-masing. Saya juga punya banyak hal yang harus diurus," lanjut Pak Gunawan tiba-tiba.
Ghina mengangkat kepala dan mengangguk. Steven menunduk sejenak, lalu mereka berdiri dan keluar bersama sesuai permintaan sang pemilik.
Lorong yang menghubungkan ruang Pak Gunawan ke wilayah para arsitek pendek, tapi untuk sejenak itu terasa panjang bagi Ghina. Steven berjalan lebih dulu di depannya, dan keinginan untuk mendaratkan high heels ke punggung pria itu sangat kuat. Suara di dalam dirinya memohon untuk diam saja, bahkan menyuruh Ghina mengganti arah langkahnya ke ruang makan saja. Dia bertekad memertahankan hening sampai nanti mereka berpisah di ujung sana. Steven akan kembali ke ruangan, dan dia mengajak Miko mengobrol. Namun, tekad Ghina terlalu lemah.
"Kenapa Bapak melakukan itu?"
Steven berhenti dan berbalik cepat, mempertontonkan suasana hati buruk, yang makin memancing emosi Ghina. Seharusnya dia yang memasang wajah itu, dia nyaris kehilang satu-satunya jalan karena orang ini. Sialan!
"Bapak lihat sediri saya panik kemarin malam!" Suara Ghina tidak bisa dikendalikan, meninggi dan menuduh. "Bapak dengar sendiri saya terima telepon dari adik saya, yang sama paniknya karena kondisi—"
"Ini pekerjaan, Ghina!" Suara Steven berat dan penuh peringatan. "Bukan sesuatu yang di bisa dikerjakan bedasarkan kasihan. Saya nggak suka project tim saya hanya menerima kata baik atau bagus, saya mau yang sempurna."
Napas Ghina seolah berhenti, dan dia tetap fokus memandang Steven. Mengangkat ujung dagunya, menantang Steven. Kalimat Steven menjelaskan masalah pria itu sebenarnya, menegaskan apa pun yang sudah dia lakukan dari awal masuk tim Steven tidak ada artinya. Kualitasnya masih diragukan. Ghina memaksa langkahnya mendekati Steven, sampai jarak mereka sangat sempit untuk menampung segala ketegangan.
"Pak Steven, tekanan deadline di tempat saya dulu lebih keras. Hampir semua project bergantung sama saya, tapi saya survive. Dan hasil yang saya hasilkan selalu mendapat kata perfect!" Mata Steven memindai Ghina dari atas kepala ke ujung kaki, sangat panjang dan terasa berusaha keras, sangat bertekad menemukan kelemahan lalu dilemparkan langsung ke wajahnya. "Mau sampai kapan sih, Pak, meremehkan saya? Saya masuk spesies orang tahu diri, kok. Saya jawab nggak, kalau saya sudah mencapai limit. Saya jawab iya, kalau masih mampu. Saya menerima tawaran membantu Mbak Anis, bukan semata-mata ada bapak saya di Batu, tapi saya masih mampu."
Tanpa menunggu tanggapan Steven, Ghina melewati pria itu. Baru beberapa langkah suara Steven menghentikannya.
"Iya, kamu belum mencapai limit. Bagaimana dengan badan kamu? Kamu berencana menginap di kantor ini untuk mengurus tiga project sekaligus? Mengurus satu project aja kamu udah lembur terus. Project Ubud belum ada ditahap drafter, pembuatan maket dengan desain dan pernak-pernik rumit perlu waktu panjang walau dikerjakan berdua bareng Miko, walau saya ikut membuat." Perlahan Ghina berbalik dan Steven sedang memandangnya intens. Mata pria itu mengunci matanya, mengucapkan kata-kata yang terasa tidak masuk akal diucapkan Steven, membisikkan sesuatu yang terasa manis tapi sulit dicerna Ghina. Yang pasti itu bukan lagi merendahkan. "Ya, terserah kamu lah! Saya hanya terima beres saja, tepati saja janji kamu. Ingat, Ghina. Saya cuma menerima yang sempurna!"
*
*
*
*
Terima kasih sudah membaca.
Jangan lupa vote dan comment yang banyak, ya. Vote 4K sebelum jam 10, aku double update. wkwkwkwkwkwkwk! Sekalinya update malak, maapkan aku. Tapi, bucin kan?
Untuk informasi naskah-naskah aku, kalian bisa ikutin di ig
Bagaskarafamily
Flaradeviana
Love, Fla.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Risk
RomanceWARNING! 21+ Ghina Indira Kamania mengambil risiko besar melepaskan segala hal yang susah payah diraih, karena ingin menjuh dari Tayga. Tunangan sekaligus partner dari agensi arsitek kecil-kecilan yang dijalankan bersama. Dia cuma hidup tenang. Tid...