6

182K 18K 894
                                    


•••Selamat membaca•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Selamat membaca



GHINA masih tidak percaya duduk berhadapan dengan Alfa, menunggu bebek goreng Madura siap, di pinggir jalan, tempat makan dengan pencahayaan ala kadarnya, yang cuman ada dua meja panjang dan 10 kursi plastik. Tadi itu otaknya tidak berfungsi dengan baik, sedang dipenuhi rasa tidak enak hati harus menolak ayam cepat saji—yang memang dia tidak suka. Dimasak apa pun ayam, Ghina tetap tidak suka. Tiba-tiba dipaksa menyebutkan mau makan apa, dan ini yang terlintas ... Favorit Ghina sejak pindah ke apartemen, 3 tahun lalu.

Dia menatap ke arah pria itu, sibuk memandang ke jalanan dengan ekspresi tidak terbaca. Datar dan muram. Mereka belum bicara lagi sejak berdebat tentang keharusan Ghina makan, yang berujung keinginan Alfa menurunkan dia di tengah jalan. Sial! Ghina membuang muka ke sembarang sebelum keinginan untuk menjitak Alfa semakin menggebu, dan mendapati hal menyebalkan lainnya. Di meja sebelah mereka. Diisi sekitar 6 cewek, mungkin mahasiswi. Melirik ke arah Alfa tanpa henti, lalu berbisik-bisik.

Ghina meluruskan cepat pandangan dan langsung terjerat oleh mata kelabu yang intens. "Nggak usah makan di sini deh, bungkus aja."

"Kenapa?"

"Saya berasa lagi makan sama mahluk purba, dilihatin banyak orang. Nggak nyaman." Sebelum Alfa menanggapi, semua pesanan mereka datang. Dua bebek dada disiram bumbu hitam, sambel bawang, nasi, es teh manis dan aqua. Kening Ghina mengerut, sepertinya dia memang harus terjebak dengan pria ini sampai beberapa waktu ke depan.

Sialan! Sialan! Seharusnya dia tidak usah menerima tumpangan ini, kalau ujung-ujungan jadi serba repot dan tidak nyaman.

"Selamat makan," kata Alfa sambil melepaskan tiga kancing kemeja navy tangan pendek, memamerkan bahu yang sangat tegas dan kulit dada kecokelatan karena sinar matahari, tanpa berhenti menatap Ghina.

Dia menelan ludah. Jantung Ghina berdegup kencang. Sangat kencang. Darah mengalir deras di pembuluh darahnya ketika tidak sengaja melihat sesuatu yang asing di balik mata itu, seperti ingin membuat tertarik, mungkin ini efek migran dan lapar. Mungkin ini hanya delusi yang dia buat. Namun, Alfa terus menatapnya. Ghina merasa seperti terkurung di satu ruangan panas, yang dilengkapai penyedot udara berukuran besar—menggurangi oksigen hingga ke paru-paru gina.

"Setop," cicit Ghina mengencangkan cengkeraman pada sendok dan garpu.

"Apa?"

"Melihat saya seperti itu."

"Melihat kamu?"

"Iya."

"Ini mata saya." Bahu Alfa bergedik. "Suka-suka saya mau melihat orang seperti apa, lagipula... saya nggak ngeliatin kamu." Alfa menjulurkan garpu ke samping wajahnya, memberi kode Ghina untuk menoleh. "Saya melihat itu dari tadi."

Ghina menarik napas dalam-dalam ketika menoleh dan melihat apa yang ditatap Alfa sedari tadi. Bukan dia. Astaga. Ada ibu dan anak, duduk di kursi kayu panjang depan warung, tidak jauh dari tempat mereka makan. Sedang bercanda, si anak yang mungkin berumur 3 memeluk kedua kaki si ibu, lalu si ibu dengan tawa lebar mengayunkan kaki.

Ghina berbalik ke posisi awal, duduk dengan kaku. Apa, sih, yang dia pikirkan tadi? Kenapa hari ini otaknya menyusahkan sekali? Ghina menunduk menatap makanannya dan memberengut. Mulai menyuap dalam hening. Makanan yang harusnya enak, jadi hambar. Sesekali dia mencuri pandang ke depan, lalu menegang saat tertangkap basah Alfa. Wajahnya semakin panas.

"Setop," kata Alfa setelah meminum aqua.

"Hah? Makannya?"

"Melirik saya, seperti saya ini mahluk purba."

"Apa? Nggak. Saya—"

"Kenapa? Temboknya lucu? Apa yang menarik dari tembok di belakang saya sampai kamu bisa double fokus?"

Rasanya Ghina mau menggigit lidah sampai putus setelah mendengar semua kalimatnya untuk Alfa dipulangkan. Ghina merasa rona merah bukan lagi ada di pipinya, merambat dari leher sampai ke seluruh badan.

Kedua kaki menghentak sambil memasukkan suapan terakhir ke mulut.

"Sudah?" tanya Alfa sepuluh menit kemudian, setelah gelas dan piring bersih.

Jawaban Ghina hanya anggukan. Dia sedang mengambil dompet, siap berdiri, saat Alfa berjalan melewatinya, lalu mendadak berbalik dan mendekati Ghina lagi

"Nggak usah ikutan ke sana terus rebutan siapa yang bayar, ini saya yang bayar. Kalau kamu mau bayar, jangan cuma ini ... sekalian ayam yang tadi, biaya bensi." Alfa berbicara santai, dengan wajah datang yang sangat menyebalkan.

"Yaaaa!" Tanpa sadar suara Ghina meninggi, kesabarannya sudah di ujung tanduk. Karena makin lama, Alfa makin mengesalkan. "Saya nggak minta dibelikan ayam, siapa suruh sok jadi pahlawan kemaleman. Makanya apa-apa tuh ditanya dulu, jadinya nggak buang uang."

"Ayam makanan paling umum yang disukai banyak orang."

"Saya nggak suka ayam, apa pun jenis masakannya."

"Artinya, kamu aneh."

Tangan Ghina menepis udara. "Sudah. Sudah. Makin lama saya dekat-dekat dokter, migran saya nggak sembuh malah makin parah! Awas." Ghina mendorong Alfa sedikit, dan berdiri sejajar. "Saya yang bayar. Iya, saya bayar semuanya. Ayam 54rb, jasa antar 60rb, tanya-tanya nggak jelas 150rb." Ghina membuka dompet, mengeluarkan dua lembar 100rb, selambar 50rb, dan selembar 20rb. "Total 264rb, ambil aja kembaliannya. Berguna buat ngelengkapi sejutanya Dokter."

Alfa mengangkat bahu dan menerima semua uang, yang lagi membuat Ghina kehilangan kata-kata dan berakhir menggeleng. Ghina mengunci bibir rapat-rapat, menahan hasrat untuk memaki. Dia berjalan menuju penjual dan membayar.

Ketika dia selesai, Alfa sedang bersandar dan bersedekap di depan kap mobil.

"Sudah saya bayar, semua!" ketus Ghina.

"Terima kasih."

"Saya pulang sendiri saja, jaraknya apartemen saya sudah dekat dari sini. Naik ojek lebih cepat."

"Oke. Kamu udah nggak pucat lagi, udah bisa marah-marah sambil teriak. Kamu sudah sehat." Alfa meluruskan posisi berdiri, meregangkan badan, lalu masuk ke mobil tanpa berdebat lagi. "Hati-hati," kata Alfa lagi, sebelum menghilang dari pandangan Ghina.

Butuh sepersekian detik buat Ghina memahami apa yang terjadi dengannya barusan. Seharusnya dia sudah menduga Alfa membantu dan mengharapkan pamrih, makan gratis, meminta biaya ganti, lalu pergi. Bukankah saat-saat ini manusia sedang ada di tahap seperti itu, tidak ada yang benar-benar membantu dengan tulus. Bahkan manusia premium seperti Alfa.

*

*

*

Terima kasih sudah meluangkan wkt membaca.
Semoga suka.

Semoga nggak kesel sama Alfa. Iya. Dia jd nyebelin bgt.

Wkwkwkwkwkw.

Jangan lupa comment dan vote yang buanyak. Terima kasih.

Buat info2 naskah, dll. Bisa follow ig

Bagaskarafamily
Flaradeviana

Love, Fla.

The RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang