.
.
Selamat membaca
.
.
Semoga senang
.
.'Apa untungnya buat saya?'
Ghina membiarkan kalimat itu menggantung. Dia berbalik, menjauhi Alfa secara perlahan. Namun, kalimat pria itu masih menggema dan mengganggu pikirannya. Dia tidak boleh marah. Dia tidak berhak marah, siapa dia? Tapi ... Demi Tuhan! Alfa itu dokter! Bukankah profesi itu harusnya memiliki empati tinggi?
Tanpa sadar air mata sudah bergulir di pipi Ghina. Ketika jalan terasa semakin panjang dan tidak jelas harus lanjut ke arah mana, lengannya ditarik dari belakang, lalu tubuhnya berputar menghadap Alfa.
"Mau jalan sampai mana? Ini—"
Ghina menghempaskan kasar tangan itu, lalu memberikan tatapan paling dingin yang belum pernah dia berikan pada orang lain seumur hidupnya. "Mau saya jalan sampe Tomang atau ke Ujung Kulon sekalipun, itu bukan urusan anda!"
"Ghina—"
"Lagian apa untungnya, sih, ngurusin tujuan saya jalan?! Nggak ada!" Seharusnya setelah menyeburkan kalimat ini dia pergi saja, bukannya berdiri menatap betapa memesonanya wajah pria itu saat satu sudut bibir tertarik ke atas. Brengsek! Kenapa sih, Tuhan menciptakan manusia sialan ini dengan wajah setampan ini?! umpat Ghina dalam hati.
"Kamu yang minta tolong sama saya. Saya itu cuma—"
Kesabaran Ghina tidak bisa menunggu sampai Alfa menyelesaikan kalimat pedas itu. Dia melempar tas dan menabrak dada bidang Alfa. "Bisa nggak sih, sehari aja itu mulut nggak pedas-pedas amat! Nggak capek apa yang di dalam sana ngulek mulu!" bentak Ghina tanpa memedulikan apa pun lagi, termasuk masih ada orang dan kendaraan lalu lalang. Peduli setan dirinya terlihat seperti pemain sinteron, India, telenovela!
Alfa membungkuk dan mengambil tasnya, saat Alfa mengulurkan tas dengan bibir siap melemparkan balasan, Ghina menggila.
"Iya, saya ini minta bantuan Dokter Alfa. Saya juga tahu yang namanya minta harus siap dengan risiko ditolak. Saya nggak masalah ditolak! Nggak! Tapi pakai cara yang baik! Anda dokter, loh! Dokter yang harusnya paham bagaimana paniknya keluarga pasien menerima kabar nggak enak! Bagaimana takutnya keluarga pasien ditinggalkan? Kalau saya punya banyak uang kayak anda, yang nggak perlu mikirin pengobatan kanker yang mahal itu, saya udah izin dari kemarin-kemarin ke Pak Gun! Ah, nggak usah izin, saya milih nggak kerja buat nemenin dan berjuang ngelawan penyakit itu sama Bapak saya! Ahhhhhhh! Percuma ngomong sama orang yang biasanya cuma diagnosis aja, bukan mengalami langsung orang terdekat kena penyakit mematikan itu!"
Dada Ghina naik turun usai berteriak menumpahkan hal-hal yang menyesakkan itu. Berkali-kali dia coba meghapus air mata, tapi gagal. Dia tidak tahu cara menghentikan tangis ini. Dia tidak tahu kenapa nekat mempermalukan diri di depan Alfa. Dia tidak tahu kenapa ini semua terjadi padanya. Dia benar-benar tidak tahu kenapa Tuhan memberikan banyak masalah sepanjang tahun ini? Tunangan brengsek, kehilangan pekerjaan yang dibangun susah payah, sekarang Bapak sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Risk
عاطفيةWARNING! 21+ Ghina Indira Kamania mengambil risiko besar melepaskan segala hal yang susah payah diraih, karena ingin menjuh dari Tayga. Tunangan sekaligus partner dari agensi arsitek kecil-kecilan yang dijalankan bersama. Dia cuma hidup tenang. Tid...