14

157K 18.1K 656
                                    

••Selamat membaca••Playlist : Love is love - Lea Michele••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Selamat membaca


Playlist : Love is love - Lea Michele

•••

GHINA berjalan santai menyusuri toko-toko di di lantai dasar apartemen dan berharap di jam 9 malam ini masih ada satu tempat makan enak yang buka, minimal ada makanan favoritnya tersisa. Atau mie instan, telur, dan cabe rawit di atas sana siap meledeknya, karena menolak mereka saat lapar terasa setelah dua jam duduk depan laptop mengobrol bersama Ibu-bapaknya melalui video call. Rasanya energi dalam tubuhnya kembali terisi. Lelah menghadapi pekerjaan, adaptasi lingkungan baru, dan masalah lain hidupnya--luruh. Senyum Bapak-Ibu penyebabnya.

Kemudian, ucapan Bapak mengulang di otak Ghina; Yang semangat kerjanya, jangan pusingin kami di Batu. Bapak sehat-sehat kok di sini. Kan kamu tahu, Bapak nggak bakal pergi ke mana-mana sebelum ada pengganti Bapak buat jagain kamu.

Tanpa sadar Ghina berhenti melangkah. Dia memindahkan pandangan dari kaki ke langit-langit hitam. Sekelumit rasa bersalah muncul, kalau saja dia tidak tolol dan membuang waktu bersama laki-laki brengsek macam Tyaga, mungkin di sampingnya kini sudah ada Lelaki baik, yang bisa saja mengurangi pikiran Bapak. Mungkin, dia tidak akan sepusing sekarang. Bebannya bisa dibagi.

Ghina menghela napas kasar lalu menggeleng, mengusir rasa apa pun yang berhasil mengganggu pikiran. Cacing di perutnya berdisko lebih keras, membuat pilihannya jatuh ke Warung Pojok. Salah satu tempat makan andalannya di apartemen ini, setelah Restu.

Baru juga kakinya melewati batas antara luar dan dalam. Niat ingin keluar sudah menggoda, tapi perutnya...

Udahlah, Ghin. Bodo amat. Urusan perut lo lebih penting, lagipula ini tempat umum. Tapi...

Mata tajam itu menatap Ghina lurus-lurus.

Bagai magnet Ghina menuju sisi kiri warung, lalu duduk di lain tempat, tetapi memunggungi si pemilik mata tajam. Setelah memesan, Ghina menyandarkan punggung di kursi. Jarak kursi yang sangat dekat membuatnya bisa menghirup aroma maskulin dari orang itu.

"Saya penasaran." Tiba-tiba Ghina bersuara, mengurangi gugup dengan memilin ujung kaus Upin Upin-nya. "Kira-kira Dokter Alfa memikirkan hal yang sama nggak ya sama saya."

1

2

3

4

5

Ghina menghitung dalam hati, tidak ada tanda-tanda orang di balik punggungnya menjawab. Bahkan saat angka mencapai 25, dan es teh manisnya datang. Kemudian, terdengar bangku bergeser. Jari-jari Ghin melengkung erat di pangkuan, melawan desakan berbalik dan melayangkan protes kenapa dia diabaikan.

"Kalau mau ngobrol lebih sopan seperti ini." Kursi di seberangnya ditarik, lalu diduduki dengan cara paling seksi sekaligus manly.

Kalimat itu tergantung di udara di antara mereka, bibir Ghina sudah terbuka tapi tidak satu kata pun berhasil dia keluarkan. Dia teralih pada dada berotot kecokelatan yang terkesan sengaja dipamerkan melalui empat kancing kemeja yang dibiarkan terbuka.

The RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang