WARNING! 21+
Ghina Indira Kamania mengambil risiko besar melepaskan segala hal yang susah payah diraih, karena ingin menjuh dari Tayga. Tunangan sekaligus partner dari agensi arsitek kecil-kecilan yang dijalankan bersama.
Dia cuma hidup tenang. Tid...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
• • Playlist : Dance monkey - Tones dan I • •
Selamat membaca • •
SETENGAH jam berlalu sejak Ghina datang ke kedai untuk bertemu Pak Bobby, tapi pemilik coffee shop itu belum juga muncul. Suasana terasa aneh. Karena Edo menghilang entah ke mana sejak dia datang usai maghrib tadi, dan Rukma terduduk lesu di depan kasir—bertopang dagu—sesekali menghela napas kasar.
"Ma... Rukma..." Ghina memanggil manja sambil melepaskan striped office blue blazer, menyisakan starpy cami swing top putih. Kemudian, duduk dan merangkul lengan Rukma. "Masih mikirin Dokter David? Sori ya, Ma. Kalau gue—"
Rukma menepuk ringan pahanya, kode untuk dia berhenti. Mata Ghina mengikuti pandangan Rukma, ke arah pintu kedai. Sendu. Tidak ada senyum jail. Seolah Rukma jadi sosok berbeda. Sebenarnya apa yang telah dia lewati? Ghina menarik mundur ingatannya, berusaha membongkar kepingan-kepingan kejadian yang mungkin bisa membuat kondisi Rukma jadi lebih masuk akal. Nihil. Tidak ada satu pun cerita tentang hati atau lelaki.
"Ma..."
"Apa yang gue lakuin itu kayak bom waktu, Na. Bisa meledak kapan aja, di mana aja. Kebetulan meledaknya di depan muka lo, tapi bukan karena lo. Gitu deh, jadi setop bilang sori."
"Tapi—"
"Ghina."
"Hmm?"
"Setop."
"Gue nggak mau bilang sori lagi, tapi ... cuma mau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa lo sepatah hati ini? Maksud gue ... gini loh, Ma. Aneh. Lo--"
"Umur gue berapa?" Tiba-tiba Rukma melepaskan rangkulannya, mengubah posisi mereka berhadapan.
"Eh? Kok—"
"Ih, jawab..."
"27, tiga bulan lagi 28. Kita seumuran."
"Ya udah. Wajar kan kalau umur segini galauin cowok. Kalau gue baru umur belasan tahun, baru menstruasi berapa kali, tapi udah galauin cowok kayak dunia mau kiamat. Itu baru aneh."
"Anehnya bukan defenisi di situ, Rukmaaa. Anehnya itu, karena lo nggak pernah kayak gini ke cowok. Maksud gue, ya ampun, lo sama si dokter itu cuma papasan waktu dia istirahat dan ngopi di sini. Di sini pun dia cuma pesan kopi, selesai. Gue nggak menemukan alasan kuat, yang—" Ghina kebingungan merampungkan kalimat itu. Tatapan Rukma, pengetahuannya soal hubungan lelaki-perempuan, membuat suara Ghina memelan tanpa diminta.
Rukma mengulurkan ponsel ke arah Ghina. "Setengah tahun terakhir ini lo sibuk sama KaYaga studio, kebrengsekan Tyaga, dan banyaknya keperluan keluarga lo di Batu. Gue ngerasa, cerita semua kegoblokan gue bakal nambah pikiran lo aja. Jadi ... gue diam."