•
•
Selamat membaca
••
"GHINAA, bagaimana hasilnya...?" Teriakan penuh semangat Rukma menyambut begitu Ghina masuk kedai, tidak peduli suara yang keras itu menarik perhatian beberapa pelanggan ke mereka.
Ghina menggeleng malu dan berjalan cepat melewati beberapa meja, lalu menarik Rukma ke office. "Rukma. Rukma. Coba deh, tuh, bacot keluar pas dokter-dokter itu datang. Hai Dokter David, mau pesan vanilla latte ya? Oke, saya buatin pake cinta." Selagi memasukkan barang bawannya di loker cokelat, Ghina sesekali melirik Rukma. Senyum konyol sahabatnya tadi lenyap. "Ya elah, Cong ... baru nama yang muncul, tapi muka lo udah panik gitu."
"Semoga suatu saat nanti lo ngerasin apa yang gue rasain, Na. Berhadapan sama cowok yang melumpuhkan semua panca indera yang lo punya, sampai lo berubah jadi manusia tanpa jiwa."
Ghina memutar bola, lalu menatap serius sahabatnya itu.
"What? Jangan berusaha cari kesamaan lo dan gue. Kita beda. Waktu lo sama si manusia laknat, otak lo doang yang lumpuh, indera yang lain normal-normal aja," tegas Rukma, kemudian menarik tangan dan memaksa Ghina duduk bersebelahan. "Jangan bahas soal cowok deh, gue mau tahu ... hasilnya? Gila, rancangan itu buat lo begadang sampe migran." Rukma terdengar sangat cemas, lengkap dengan kening mengerut.
Ghina mengangkat bahu sambil menggeleng lemas, sengaja mengerjai Rukma.
"Jadi? Ahhh, Ghina..." Hadiah pelukan langsung diberikan Rukma, mengelus-elus lembut punggungnya berulang kali. "It's okay, Na. It's okay... Kalau satu perusahaan besar bisa kesempatan, bakal ada perusahaan besar lainnya yang kasih. Kata orang, kegagalan itu bagian dari perjalanan menuju sukses." Rukma melepaskan pelukan, menepuk-nepuk bahunya, lalu melanjutkan kalimat. "Lo harus tetap semangat ya... jangan sampai patah. Ingat, lo itu dilahirkan jadi arsitek terkenal kayak Antoni Guadi, Zaha Hadid, atau Frank Lloyd Wright. Semangat!"
Dan, tawa Ghina sudah tidak bisa ditahan. Dia meraih dan memeluk tubuh Rukma, sangat erat. "Gue kalau nggak ada lo jadi apa ya, Ma?"
"Tetap jadi Ghina Indira Kamania yang kuat, pintar tapi goblok urusan cinta, baik ke orang lain nggak ketolongan." Rukma membalas pelukannya, dan mereka cukup mempertahankan posisi itu. "Udah, jangan sedih. Semangat! Mesin kasir menanti."
Rukma lebih dulu berdiri, sudah membuka pintu pintu sedikit, ketika Ghina kembali memanggilnya menggunakan nada manja. "Ma..."
"Ya?"
"Lo bantuin gue ngomong sama Pak Bobby ya..."
Rukma merapatkan lagi pintu, bersedekap, dan bersandar di sana. "Kenapa?"
"Hmmm. Besok gue harus mulai ngantor di Megatarinka. Gue mau aja sih, balik ngantor lanjut ke sini... tapi, nggak mungkin, Ma. Lo tahu kan—"
"Sialan!" Kalimat Ghina belum juga selesai, tapi pukulan Rukma sudah mendarat mulus di pahanya. "Jadi maksud lo, lo diterima?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Risk
RomanceWARNING! 21+ Ghina Indira Kamania mengambil risiko besar melepaskan segala hal yang susah payah diraih, karena ingin menjuh dari Tayga. Tunangan sekaligus partner dari agensi arsitek kecil-kecilan yang dijalankan bersama. Dia cuma hidup tenang. Tid...