Selamat membaca•
•
•
Semoga suka
•
•
•SETELAH menghabiskan waktu sepanjang pagi dengan canggung dan kebingungan bersikap, Ghina memutuskan untuk menghadapi sumber ketidak nyamanannya. Menggunakan kekosongan area kerja Mega Tarinka saat jam istirahat untuk mendatangi area berbahaya. Dia berdiri cukup lama di depan pintu kaca, memperhatikan punggung sang penguasa sedang asyik menghadap meja gambar. Butuh beberapa kali embusan napas kasar, Ghina mampu mengentuk dan membuka pintu ruangan itu.
"Selamat siang, Pak Steven."
Steven menoleh sekilas padanya, tanpa berbalik. "Seingat saya, saya nggak ada suruh orang, atau menghubungi kamu buat datang ke sini."
Kedua tangan Ghina merangkum erat pegangan papper bag cokelat, menjaga senyum manisnya tetap menguasai wajah, lalu berjalan lambat mendekati meja kerja Steven. "Saya itu tamu yang nggak diundang, habis barang Bapak tertinggal di tempat saya. Dan saya nggak suka menunggu menyimpan barang orang lain terlalu lama."
Sepersekian detik ruangan ini diserang keheningan yang aneh, dari cara Steven memutar kasar kursi menghadapnya, bersedekap dengan wajah serius dan ekspresi yang memacing kompor dalam tubuh Ghina menyala otomatis—siap mendidihkan darahnya.
Ghina meletakkan papper bag ke meja. "Terima kasih buat jasnya, Pak. Sudah saya cuci bersih. Jangan khawatir cucinya di laundry 24 jam paling bagus dan terpecaya, pasti bersih."
"Laundry? Kayaknya kamu salah, deh. Saya nggak meninggalkan apa pun di kamu."
Dengan bersusah payah menahan tawanya, Ghina mundur beberapa langkah dari meja Steven. "Kalau Bapak ini pemegang paham menolong tanpa diketahui, lain kali, tolong pastikan lebih dulu apa-apa yang dipakai buat menolong tanpa indentitas." Begitu Steven menegakkan punggung dan mengurai sedekap, Ghina tidak tahan untuk tidak terkekeh. "Di jas Bapak ada bordiran namanya, di bagian kantong dalamnya. Kecuali ... nama Bapak bukan lagi Steven Gunadi."
Ghina menghentikan kekehannya, menyadari reaksi Steven makin aneh. Pandangan itu seolah ingin menyelami pikiran Ghina, mencari tahu sendiri apa yang dia pikirkan, tanggapan langsung darinya. Sialannya, Mata Ghina ikut mencari jalan untuk mengetahui apa-apa yang orang lain belum tahu tentang Steven. Meneliti detail dan menyadari penampilan Steven cukup menarik untuk pertama kalinya. Rambut hitam yang dipotong pendek dan ditata asal-asalan, wajah maskulin yang kebulean lengkap dengan bulu-bulu halus yang dibiarkan tumbuh sekitaran dagu, bahkan pria itu memiliki bisep dan perut rata yang tersamar di balik pakaian formal.
"Ghina." Suara Steven membuat perut Ghina mendadak terlilit. "Apa pun yang ada dipikiran kamu, tolong segera dihilangkan."
"A-apa?" Ghina menggigit bagian dalam bibir bawahnya dengan kening mengerut. "Saya nggak memikirkan apa pun, Pak."
"Kamu bagian dari semua proyek penting saya. Kalau kamu sakit, saya repot. Itu alasan saya. Nggak lebih." Steven berdiri, menghampiri meja kerja, dan menunjuk papper bag Ghina. "Jangan memikirkan yang nggak-nggak."
"Wow. Memang saya mikirin apa? Saya—"
"Cara kamu melihat saya tadi, seperti seorang perempuan melihat laki-laki."
"Memang Bapak bukan laki-laki?" Ghina berharap ekspresinya sama menyebalkannya seperti ekspresi Steven. "Bapak mikirnya kejauhan. Udah ah, saya pamit. Sekali lagi terima kasih dan maaf sudah merepotkan."
Cepat-cepat Ghina berbalik dan menuju pintu. Ketika tanganya berhasil meraih gagang pintu, Steven kembali memanggilnya—dengan nada dan cara yang sama seperti tadi. Dan lagi, perutnya melilit.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Risk
RomanceWARNING! 21+ Ghina Indira Kamania mengambil risiko besar melepaskan segala hal yang susah payah diraih, karena ingin menjuh dari Tayga. Tunangan sekaligus partner dari agensi arsitek kecil-kecilan yang dijalankan bersama. Dia cuma hidup tenang. Tid...