18

153K 17.7K 1.1K
                                    

 •

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Selamat membaca


Siapa yang begadang baca ini? Ngacung!


GHINA memaksa diri untuk duduk di depan *Mutoh RWA, mengingkat asal rambutnya, membuka catatan hasil diskusi bersama Miko, berpikir sejenak, lalu mengambil pensil HB setelah mengatur *drawing head dan penggaris panjang. Dia harus bekerja, tidak ada waktu memikirkan obrolannya bersama Rukma tadi. Seharusnya dia tidak mengunjungi Rukma pulang kantor tadi. Seharusnya dia langsung saja bermesraan dengan alat tempurnya semalam suntuk, membereskan deadline, dan membungkam Steven. Bertemu Rukma tadi tidak mengurangi pikiran, tetapi menambah sesak otaknya.

Sialan!

Satu titik pun belum berhasil dia torehkan, tetapi Ghina sudah menarik mundur tangannya dari kertas. Bersandar di kursi, melipat satu tangan di depan dada sementara satu yang lain membenturkan bokong pensil ke bibirnya.

"Mungkin, Dokter Alfa naksir lo."

Ghina memindahkan pantat pensil ke ujung hidung, menggeleng pelan, bergumam, "Jangan ikutan gila, Ghina. Mana mungkin—"

"Gini ya, Cong. Naksir beda sama cinta. Cinta perasaan yang lebih besar, prosesnya juga agak lama buat ke tahap itu. Tapi naksir ... bisa terjadi dalam hitungan detik. Kayak lo lihat anak anjing, lo suka dan elus, tapi kan nggak langsung lo ambil dan rawat kayak anak sendiri. Butuh proses. Nah, mungkin si dokter itu lagi tahap naksir doang."

Sejenak Ghina membiarkan pikirannya terbuai kata-kata Rukma, sedikit menunduk, dan menaikkan pantat pensil ke kening.

"Dan lo, gue yakin lo juga naksir dia. Kalau nggak, nggak mungkin mikirin sampai segininya."

"Nggak!" Tiba-tiba saja Ghina berdiri, mengulurkan pensil ke udara seolah ada Rukma di depannya. "Gue tuh nggak naksir dia, Ma! Gue mikir keras gini, karena gue takut! Gila. Manusia mana yang mau diikutin diam-diam gitu. Ihh!" Kemudian, melemparkan pensil ke meja kecil samping Mutoh.

Dia berdiri di depan standing mirror sebelah lemari gantung, menunjuk pantulan dirinya di sana dengan wajah galak. "Stop it, Ghina! Kenapa sih, lo menghabiskan sisa space di otak lo yang berharga ini buat mikirin orang asing, nggak punya hati, aneh, kayak Alfa? Udah. Udah. Case close!"

Ghina melirik jam dinding di atas pintu menuju balkon kecil yang panas oleh mesin AC. Warung Pojok masih buka. Dia berdiri cukup lama di ruang televisi sekaligus dapur itu. Entah dia kerasukan, atau berusaha membuktikan sesuatu. Dengan tergesa Ghina mengambil cardigan dan dompet, lalu meninggalkan apartemennya yang nyaman itu tanpa memedulikan penampilan yang kacau.

Sepanjang jalan di lorong, lift, lobi, bahkan sampai di depan pintu Warung Pojok. Sebagaian kecil dari dirinya mempertanyakan tindakan ini, sementara sisanya mendukung. Ghina masuk dan duduk di tempat yang sama seperti beberapa minggu terakhir, hanya memesan teh manis hangat karena sudah makan bersama Rukma. Setengah jam berlalu, dan suara salah satu karyawan menyentak Ghina dari lamunan penuh teka-teki, secara otomatis dia menurunkan kedua tangan ke paha.

The RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang