23

141K 17.7K 1K
                                    

Selamat malam semua

.

.

.

Selamat membaca

.

.

.

Jangan lupa taburan bintang dan comment yang banyak

.

.

.

GHINA menatap keluar pintu kaca Warung Pojok, bertanya-tanya kenapa hari ini terasa sangat melelahkan. Berhadapan dengan klien yang banyak mau, tetapi tidak bisa memberi dia setitik saja gambaran tanah 2000 m2 itu mau dibuat hunia seperti apa. Belum lagi suara-suara di otaknya, bertingkah seperti mainan mangkuk putar, semakin lama semakin kencang. Sambil menghela napas kasar, Ghina mengeluarkan ponsel dari tasnya. Ada satu pesan masuk dari Tante Susi.

Tante Susi : Ghina, sori nih, Tante baru balas. Boleh, kalau memang kamu mau coba nego sama Alfa langsung. Ini nomornya.

Napas Ghina tertahan melihat deretan angka di layar ponsel. Sejenak dia berperang pada diri sendiri, sebagian mendorong dia menelepon, sisanya membodohi niat itu. Satu kakinya menyentak kursi di depan, hingga terjungkal. Cepat-cepat Ghina berdiri, mengucapkan maaf pada pegawai kedai sambil membetulkan kursi. Setelah dia kembali duduk dan mengamati ponsel di meja, Ghina menyambung perdebatan dengan diri sendiri yang belum menemukan titik temu.

Namun, begini membuat malam Ghina tidak tenang.

Kemarin dia berprasangka buruk pada Alfa, lalu ini....

"Sudahlah, Ghina, meminta maaf bukan kejahatan." Ghina menyambar ponsel dari meja, menekan tombol panggil. Setelah tiga deringan, si pemilik nomor menerima panggilannya.

"Hallo, selamat malam." Mendengar suara berat itu memacu ledakan asing dalam diri Ghina. Tiba-tiba saja dia membayangkan bibir Alfa bergerak, sambil menatapnya tajam, dengan satu alis tebal yang terangkat.

"Ma-lam." Ghina menggeleng putus asa, keinginan untuk menutup panggilan menguat. Perutnya bergemuruh, entah karena belum makan nasik sejak siang, atau beberapa kali terdengar desahan berat di ujung sana.

"Iya. Malam. Ini siapa, dan ada keperluan penting apa? Kalau saya tidak salah lihat jam, ini sudah jam 7. Dan ini nomor pribadi, bukan untuk urusan kerja."

Ghina memutar bola matanya. Ternyata manusia ini bersikap menyebalkan pada semua orang. "Saya, Ghina. Ingat kan, Dok? Maaf sebelumnya menelepon malam-malam, saya baru bisa menggunakan handphone selepas jam kantor. Kalau Dokter Alfa, mau bilang masih ada besok pagi, jawaban saya kembali ke awal. Lagipula..." Ghina berhenti sepersekian detik, berusaha menghirup udara sebanyak-sebanyaknya, karena paru-parunya terasa kering kerontang. "Lagipula, saya mau bicara penting."

"Penting?"

"Iya."

"Penting buat kamu, belum tentu penting buat saya."

Benarkah mereka harus berdebat lagi, di tengah niatnya meminta maaf? Astaga, apa sih, yang salah di otak manusia ini? Apa tidak bisa sekali saja bicara biasa, tidak menjengkelkan?

"Kalau memang penting, face to face saja. Saya nggak suka bicara di telepon."

"What?"

"Ketemu di Warung Pojok."

"Apa? Warung Pojok? Ketemu, tapi, hallo ... Dokter Alfa? Hallo?" Panggilan diputus sepihak oleh Alfa. Untuk meredam teriakan Ghina menyuap besar-besar nasi goreng telor pesanannya, sudah dingin, terlalu lama dijadikan pajangan meja selama Ghina sibuk berdebat tadi.

The RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang