13

152K 17.4K 602
                                    

••Selamat Membaca••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Selamat Membaca


GHINA bersedekap di depan pintu rumah calon klien mereka. Mengerutkan kening, memiringkan kepala, sebelum mengeluarkan ponsel dan memberanikan diri melewati gerbang tanpa intruksi Steven. Padahal, di jalan pria itu sudah beberapa kali mengingatkannya.

"Ghina..." Steven memanggilnya dengan nada paling menyebalkan kedua setelah Alfa. Rendah, berat, terkesan dia bakal mengacaukan segalanya. Dengan berat hati Ghina menoleh dan tersenyum. "Sini, Ghina."

Sejak melepeskan embel-embel Ibu setelah tahu umurnya, Steven jadi sengaja mengakhiri obrolan mereka dengan namanya—dibumbui penekan aneh. Dan Ghina kesal bukan main, seolah Steven sedang mengulang hinaannya tadi; kok, kamu kelihatan seumur saya—36. Kasarnya, si Steven itu mengatai Ghina, muka tua!

Sialan.

"Mau apa kamu ke sana, Ghina?"

Mata Ghina sudah siap berputar malas, untung saja bisa ditahan. "Mau cari data angin dan cahaya, Bapak Steven." Nada suaranya pun berhasil tetap sopan. Dia mengangkat ponsel tinggi-tinggi.

Steven menggulung lengan kemeja sampai ke siku, lalu berjalan mendekatinya. "Why?"

Ghina mengembuskan napas kasar, lalu berusaha terdengar layaknya arsitek professional. "Pak, posisi tanah klien kita ini nyempil di padatnya rumah penduduk dan melintang dari utara ke selatan, jadi tanah terbesar ada di sisi barat dan timur."

"Terus?"

Ghina memasukkan ponsel, mengambil tablet-nya. "Tadi pas kita baru sampai dan saya lihat sekilas, saya pikir bisa nih buat massa memanjang dari barat ke timur, biasanya bagian itu paling sering tertempa matahari. Iya kan, Pak?" tanyanya, mengintip dari bulu matanya lalu lanjut menggambar di tablet. "Tapi, kalau Bapak amatin lagi... di sini, bukaan terbesar dari utara ke selatan. Terus..." Tanpa sadar Ghina bergeser ke depan gerbang. "Ini. Ada leveling tanah lebih tinggi dari jalan. Hmmm. Mungkin 1 meter dari jalan. Jadi, saya pikir, kenapa kita nggak buat something special. Membuat seolah-olah bangunan massa menggantung ke atas, nah, di atas itu pure private area—yang bisa dikontrol klien—mau dibuka atau tutup. Terserah. Suka-suka si klien. Taraaaa!"

Ghina mengangkat tablet sambil berjalan kembali mendekati Steven, menunjukkan ide tempat istirahatnya dengan senyum puas.

"Untuk gambaran ide kayak gini saya harus cari data matahari, angin, dan sebagainya itu. Untuk memastikan apakah rancangan ini layak di aplikasikan, sekaligus mencari tahu udara bisa keluar masuk dari mana aja. Oh ya, saya mengusung konsep low energy. Menurut Bapak cocok nggak konsep itu?"

"Low energy?"

"Iya." Ghina menunjuk bagian bawah gambar kasarnya. "Bagian bawahnya ini nanti menggunakan kaca, makanya saya bilang di atas itu area private si klien—yang bebas dia buka tutup. Jadi bangunan ini iconic. Kalau orang lihat, tropisnya ada—modern dan kontenporernya juga dapat."

Steven mengambil tablet Ghina. Untuk beberapa waktu pria itu mengamati coretan kasar Ghina. Dengan perlahan Steven memindahkan mata dari tablet ke wajah Ghina, tanpa dia duga, senyum tersungging di wajah pria itu. Senyum tanpa unsur mengejek.

"Kamu baru melihat tempat ini sekali dalam waktu setengah jam, dan rancangan terbentuk. Wow!" Steven bertepuk tangan sebentar, lalu kembali menghilangkan senyum. Memasang wajah menyebalkan lagi. "Atau ... jangan-jangan Pak Gun udah kasih bocoran?"

"Seriously?!" Kali ini Ghina memutar bola mata malas, habis sudah kesabarannya. Kenapa dia ini seperti bayangan Pak Gunawan saat berhubungan dengan orang-orang MegaTarinka? Ghina mengambil dan memasukkan tablet ke tas dengan kasar. "Memang tampang saya ini selain tua, juga terlihat seperti perempuan brengsek? Jadi Bapak merasa wajar punya pemikiran sama kayak penghuni kantor, kalau badan saya ini lebih berpengaruh daripada otak saya?" Tiba-tiba Ghina mengeluarkan ponsel. "Ini loh, nomor Pak Gun aja nggak ada di handphone saya! Bagaiamana caranya saya ngerayu Pak Gun? Email? Satu-satunya email yang saya kirim untuk memberitahu saya minat tawaran presentasi beliau sekaligus meminta waktu seminggu untuk menyelesaikan portofolio. Kantor? Please deh, ruangan Pak Gun itu kaca semua, mau apa-apa kelihatan. Apa ada satu orang aja yang pernah lihat saya ngekang di depan Pak Gun, atau meluk terus cium-cium beliau?" Ghina menarik napas panjang, sepertinya panas kota Jakarta ini mempengaruhi otaknya. "Aishhh! Menyebalkan! Kayaknya, otak kalian terkontaminasi beton sama pasir. Oh ya, satu lagi, saya itu dimasukin ke tim Ubud atas permintaan Pak Alby bukan Pak Gun. Apa kalian bakal bilang saya ini simpenan Pak Alby juga?"

Ghina benar-benar melupakan kesopanan, mengentak kaki, lalu sengaja berbalik dengan gaya dramatis. Mungkin ujung rambutnya yang dikuncir kuda mengenai sedikit Steven, entah bagian yang mana, tetapi Ghina tidak peduli. Dia berjalan menjauhi tempat calon klien menuju mobil, terus menggerutu.

"Ghina."

Dia menggeleng kuat-kuat, terus berjalan. Orang itu harus diberi pelajaran, tidak semua orang bisa dan mau direndahkan padahal sudah memberikan yang terbaik. Semut saja bisa melindungi diri, apalagi Ghina.

"Ghinaa..."

"Setop manggil nama saya! Ghina. Ghina." Ghina berhenti dan berbalik, dan Steven sudah berdiri di belakangnya. "Saya tahu nama saya Ghina, nggak perlu dipanggil tiap saat seperti saya ini penderita pikun akut. Apa? Apa lagi?"

Seringai Steven menunjukkan bahwa pria itu menertertawai kekesalannya, daripada merasa bersalah. "Ternyata ini aslinya kamu, penuh semangat dan meledak-ledak." Belum sempat Ghina menghindar, Steven sudah lebih dulu mengikis jarak antara mereka. Merebut kunci mobil dari tangannya, lalu berkata, "Kita ketemu klien di coffee shop dekat sini, sekalian mendinginkan otak kamu. Dan saya yang menyetir."

Mungkin, perpindahan kunci itu tidak membuat Ghina kaget. Namun, saat Steven mencapai mobil lebih dulu dan membukakan pintu untuknya, seluruh bulu halus di tubuh Ghina berdiri. Dia mengerjap, menengok kanan-kiri, lalu menghampiri Steven pelan-pelan. "Pak... Bapak sehat? Saya aja deh yang nyetir. Nggak masalah. Siapa tahu Bapak memang butuh istirahat yang banyak, atau ... Bapak perlu saya bawa ke rumah sakit atau gereja? Dokter atau pendeta?"

Tangan Steven terlepas dari pinggiran pintu mobil, seringai pria itu lenyap. "Kalau kamu nggak mau masuk, ya sudah. Kamu tahu kan coffee shop Kala dekat sini? Kita ketemu di sana. Kamu naik ojek atau taksi, terserah."

Pintu mobil nyaris tertutup, tetapi Ghina berhasil menahan dan masuk. Dengan senyum sangat lebar, Ghina berkata, "Oh, jadi Bapak gini ya orangnya. Nggak bisa diajak bercanda." Kemudian, menutup pintu dan tertawa lepas sebelum Steven duduk di sebelahnya.

*

*

*

Terima kasih sudah membaca

Jangan lupa vote dan comment yang banyak! Mau double up hari ini? Boleh, Vote 2k yaa... 🤣🤣🤣

Follow ig

@bagaskarafamily
@flaradeviana

The RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang