GHINA mengerang seraya meregangkan badan. Kondisi kedai baru sepi setelah ramai sepanjang siang sampai lewat Maghrib begini, semua sibuk sampai tidak punya waku membahas drama menjijikan antara dia dan Tyaga. Kecuali Rukma yang menariknya ke pojok untuk menceritakan, bahwa ada komentar live dari warga +62 untuk Sophia. Disampaikan di depan muka dua orang itu, sampai keduanya keluar dengan wajah merah. 'Kalau orang yang nemenin dia dari bawahnya aja ditinggal dan dikhianati, apalagi kamu yang baru datang saat dia di atas? Think, girl! Think!'
Mendegar kalimat pedas yang disampaikan entah oleh siapa membuat rasa marah yang sulit dihilangkan Ghina, bergerser tanpa paksaan, memberi ruang bagi rasa puas. Dia tertawa sangat keras dan puas, tidak memusingkan setelah itu Mas Aryo—penanggung jawab kedai menghampiri untuk menegur tentang keributan kecil tadi, tapi hanya itu saja.
"Kok nggak ada ya?" Rukma bergumam, lalu duduk di sebelah Ghina dengan kepala menunduk ke layar ponsel.
"Apaan?"
"Berita lo. Kejadian lo ngatain lonte dan banci. Ck! Gue pikir bakal viral. Siapa tahu ada yang ngerekam, terus dikirim ke akun-akun gossip di Instagram," sahut Rukma dengan wajah polos dibuat-buat. "Kan lumayan, Cong! Kedai makin rame, terus lo nggak perlu numpuk dosa karena hujat dua manusia itu sendirian. Dosanya dibagi rame-rame se-Indonesia."
"Ya kali, Ma. Emang gue orang penting, gue cuma rakyat jelata."
"Iya sih, tapi orang sini tuh demen liat keributan ... terutama yang bersangkutan rebut merebut, kelar urusan."
Ghina menyeringai, lalu bersandar ke bahu Rukma. Untuk beberapa saat keduanya hanya duduk bersebelahan dan sibuk dengan ponsel masing-masing. Sesekali Rukma tertawa kecil, entah ada hal lucu apa di media sosial itu. Sementara Ghina memeriksa email, tidak ada tanda-tanda panggilan kerja. Kemudian tiga website freelance, sama saja. Masih belum ada tawaran kerja baru, mungkin dia harus memasukkan portofolio baru malam ini---container hotel, rasanya bagus.
"Kenapa? Belum ada yang masuk?" Rukma bertanya setelah menaruh ponsel di samping mesin kasir.
Ghina menggeleng. "Belum ada yang baru dari dua desain 3D kemarin itu. Nanti malam gue daftar lebih banyak proyek freelance dari tiga website itu, semakin banyak gue daftar, semakin besar kemungkinan nyangkutnya. Iya kan?"
"Jangan lupa istirahat. Beberapa hari ini lo kurang tidur, sibuk bikin rancangan simple buat portofolio di tiga website itu."
"Siap."
"Na, Ibu Bapak---"
"Belum. Mereka belum tahu."
"Kenapa?"
"Satu, gue malu." Ghina tertawa getir. "Lo tahu kan, Ibu nggak suka banget sama Tyaga. Tapi, gue selalu belain tuh laki... belum siap aja dengar; tuh kan, Ibu bilang apa. Cara dia bersikap ke kamu tuh loh, Na. Bapak aja nggak pernah nyuruh kamu suirin ayam, nggak pernah nyuruh kamu layanin ini itu, dan bla-bla-bla."
Rukma terkekeh.
"Rukma, malah diketawain."
"Sori. Sori. Terus, alasan nomor dua."
"Jelas, nggak mau Bapak Ibu khawatir. Tahun ini Gerry masuk SMA, Ghino masuk kuliah. Kalau mereka tahu sumber penghasilan mereka kacau, pasti kepikiran banget. Kasihan. Mereka udah tua, sudah seharusnya nikmatin masa-masa tenang. Biarin aja gue yang puter otak buat memastikan mereka dan adik-adik gue baik-baik saja."
Rukma menepuk-nepuk punggung tangannya dengan lembut, lalu mengangguk. "Lo orang baik, Na. Punya tujuan baik juga, gue yakin semua ini bakal berlalu."
"Amin!" seru mereka kompak, sebelum tertawa bersama.
Ghina tidak tahu apa yang terjadi tanpa Rukma di sampingnya setelah semua kekacauan ini. Orang yang selalu mendengarkan dia, tanpa menyudutkan. Kalau pun marah dengan kebodohannya, Rukma akan memberi beberapa opsi untuk memperbaikinya. Rukma lebih dari sekadar sahabat bagi Ghina, seperti saudara.
Keduanya siap membuka obrolan lain, tetapi pintu kedai terayun—ada pelanggan masuk. Sebelum jam kerja berakhir, keduanya siap melayani pelanggan terakhir. Ghina berdiri dengan senyum menyambut, sementara Rukma siap membuatkan kopi atau minuman lain yang dipesan nanti.
Prosesnya cepat. Si pelanggan langsung memilih, lalu menyodorkan satu lembar 100rb untuk membayar.
"Kayaknya saya pernah lihat Mbak deh." Tiba-tiba si pelanggan bergumam, sambil memiringkan kepala dan mengernyit.
Mau tidak mau, Ghina ikut berpikir. Memperhatikan pria yang terlihat berumur 40-an dengan penampilan pada umumnya, kemeja putih sedikit ketat di bagian perut—celana bahan. Ghina segera membokar otaknya untuk mengingat apakah pernah bertemu orang ini, meski tahu hasilnya akan sia-sia. Mengingat orang adalah kelemahannya.
"Masa sih?" Ghina tersenyum canggung.
"Ghina... Ghina..." Si pria menepuk tangan cukup keras. "Ghina Indira? Iya kan? KaYaga studio? Pekan arsitek Jakarta setahun lalu, kita ketemu di sana. Sama-sama buka stand. Loh, Mbak kok—"
"Saya sudah resain dari KaYaga." Berusaha keras menyembunyikan kegetiran di suaranya.
"Sekarang?"
"Ya, kerja di sini aja."
Si pria mengangguk, mengambil uang kembalian dari Ghina, tapi tidak juga berpindah dari posisinya. Memandang Ghina sepersekian detik, lalu mengeluarkan kembali dompet dari saku celana. Mengulurkan kartu kecil hitam dengan background asiran atap emas.
GUNAWAN RATMADJA
DIREKTUR OPERASIONAL
MEGATARINKA ARCHITECT
Email : Gunawan.Megatika@gmail.com
JL. Kemang Selatan 2, Jakarta Selatan
"Ambil, Mbak. Jangan dilihatin aja." Pak Gunawan memaksa Ghina mengambil kartu itu. "Kebetulan kami itu lagi cari arsitek berpengalaman, dan kamu salah satunya. Saya banyak lihat rancangan kamu di pekan arsitek waktu itu, saya kagum sekali dengan hasil-hasil itu."
"Tapi..."
"Saya tunggu kamu di kantor, sesiapnya kamu mempresentasikan ide rancangan terbaru kamu. Hotel. Apartemen. Perumahan. Coffee shop. Resort. Rancangan apa pun, asal yang terbaik."
Kaki Ghina gemetar, ini bukan biro aristek kecil seperti KaYaga Studio—ini kelas kakap. "Pak, ini... ini tidak salah kan? Soalnya kemarin saya lihat di website Megatarinka tidak ada lowongan buat arsitek, terus..."
Pak Gunawan bergedik. "Sekarang ada. Sudah. Sudah. Saya tidak bisa lama-lama. Saya tunggu ya, Mbak Ghina?" Kemudian, Pak Gunawan mengambil kopi dan meninggalkan kedai.
Untuk beberapa saat Ghina masih mematung sambil memegang kartu nama itu, lalu melirik Rukma yang tersenyum penuh arti.
•
•
Selamat membaca!
Siapa yang nungguin cerita ini update dari pagi? Ngacung! Wkwkwkwkw.
Jangan lupa vote dan comment yang buanyakkkk!
Untuk info naskah, dll. Kalian bisa follow ig
Bagaskarafamily
Flaradeviana
Love, Fla.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Risk
RomanceWARNING! 21+ Ghina Indira Kamania mengambil risiko besar melepaskan segala hal yang susah payah diraih, karena ingin menjuh dari Tayga. Tunangan sekaligus partner dari agensi arsitek kecil-kecilan yang dijalankan bersama. Dia cuma hidup tenang. Tid...