19

161K 16.3K 488
                                    

••Selamat membaca••Selamat malam minggu•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Selamat membaca


Selamat malam minggu



RUKMA mengamati Ghina dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Lo kenapa? Dikejar setan? Rentenir online? Ngapain tengah malam gini nongol depan kos gue?"

Ghina menerobos masuk tanpa menjawab, melemparkan diri di ranjang Rukma, lalu menggelepar seperti ikan terlempar dari kolam.

"Kemasukan arwah duyung yang dibunuh secara keji, atau ayan?" Rukma menghampirinya setelah menutup pintu kamar, memukul pahanya, dan duduk di ujung ranjang. "Butuh gue panggilin Pendeta, atau ... Dokter Alfa?"

Spontan Ghina duduk dan melempar bantal ke wajah Rukma. "Jangan sebut nama cowok sialan itu! Arghhhhhh! Gue harus mandi kembang tujuh, bukan, nggak cukup. Gue perlu mandi semua rupa kembang di bumi ini, atau bertapa buat menghilangkan sial sejak ketemu manusia itu!"

"Sakit, Cong! By the way, pamali sebel sama cowok sampai segitunya. Bisa jadi cinta."

Ghina bersiap melemparkan guling, tetapi Rukma lebih dulu berdiri dan mengambilkannya air putih. Tidak mempertanyakan atau mengomentari apa pun lagi, Rukma kembali duduk bersila di ujung ranjang dan memeluk bantal hasil lemparannya di depan bibir—berusaha menyembunyikan tawa, yang jelas tersirat lewat cara Rukma memandanginya.

Selagi hening, Ghina coba untuk menenangkan diri. Berusaha menghentikan otaknya memutar penggalan-penggalan kejadian gila di Warung Pojok tadi. Apa yang harus dia lakukan setelah malam ini? Bagaimana reaksi Rukma kalau dia ceritakan?

Dia kembali berbaring, meraih guling dan menaruh benda itu di wajahnya. "Ma, gue mau ke Korea."

"Korea?"

"Iya. Gue mau operasi plastik," ocehnya, "tapi, setelah Bapak beres pengobatan dan sehat."

"Biayanya? Naik pesawat ke Korea pulang-pergi 8 juta, belum biaya selama lo tinggal di sana. Rumah sakit. Makan."

Perlahan Ghina menurunkan guling dari wajahnya, memiringkan tubuh sedikit agar leluasa memandang Rukma. "Cari uang gampang di mana, ya?"

"Punya sugar daddy, melet orang kaya, melihara tuyul."

Ghina diam dengan wajah datar, begitu pun Rukma. Suasana itu bertahan beberapa detik, sampai Rukma melempar balik bantal ke perut Ghina, lalu keduanya kompak meringis dan tertawa getir. Kalau semudah kata-kata itu meluncur dari bibir Rukma dan tidak dosa, mungkin mereka sudah ongkang-ongkang di rumah mewah.

"Gila, lo. Kenapa sih, tiba-tiba kepikiran mau operasi muka? Terus, kenapa malam-malam ke sini? Katanya, banyak kerjaan--banyak deadline super gawat. Ini. Penampilan lo. Astaga. Baju tipis gombroh--mau pamer beha seksi, celana pendek banget—paha ke mana-mana. Rambut awut-awutan kayak abis diciumin gila-gilaan. Handphone lo? Anjir, lo cuma bawa dompet doang? Lo ke sini naik apa? Wah. Hoki lo selamat sampai kosan gue tanpa kekurangan apa pun, dengan banyaknya kesempatan orang buat jahatin lo."

The RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang