PART 8 : BERGETAR

7.4K 1.4K 304
                                    

Akhirnya aku tahu bagaimana rasanya diremehkan dan direndahkan. Mungkin Tuhan ingin memberiku pelajaran, agar aku tak lagi berbuat semena-mena pada orang lain.

***

"Makasih," ujar Gemaya tak enak, namun tetap menyambut uluran tangan Dewangga.

"Lo pegangan di sini," tangan Gemaya yang masih berada di genggamannya, diarahkan ke salah satu kursi, "nah, pegang yang kuat sandaran kursinya biar kalo sopir ngerem mendadak, lo nggak jatuh," jelas Dewangga.

Bus yang penuh itu terasa makin sesak. Oksigen di sekeliling Gemaya mendadak menipis. Seolah hanya menyisakan space untuknya dan Dewangga.

"Lo kok di sini juga?" Gemaya menatap ukulele di tangan kiri Dewangga, "oh, lagi ngamen?" tanyanya memastikan.

Sembari mengunyah permen karet, Dewangga menjawab santai. "Kalo iya, kenapa? Ilfeel liat gue ngamen di sini?"

Kondektur yang mendengar percakapan keduanya, turut menimpali.

"Mas Dewangga tiap hari nyanyi di sini. GRATIS! Nggak minta bayaran," tukas Salman mempertegas.

"Seriusan?" tanya Gemaya masih belum yakin. Setelah Dewangga mengangguk dengan tampang cuek, gadis itu tiba-tiba menantangnya. "Emang suara lo bagus?"

Pertanyaan bodoh. Gemaya belum tahu kalau Dewangga maskotnya Fakultas Bahasa dan Seni, lebih tepatnya di jurusan Seni Musik.

Tiap kali ada event atau tamu penting yang datang, ia selalu dipercaya menjadi penampil solo di panggung utama.

"Lo sendiri abis dari mana?" Sebelum Gemaya menjawab, Dewangga sudah mengambil kesimpulan.

"Oh, abis belanja?" Tatapannya tertuju ke kantong plastik besar yang dibawa gadis itu. "Sebanyak ini isinya makanan semua?"

Gemaya langsung naik pitam, merasa tersinggung. "Emang ada larangan kalo cewek kayak gue nggak boleh belanja makanan sebanyak ini?"

"Gue tanya doang, Gembul.." Dewangga mengunci mulutnya sesaat, lalu bersuara lagi, "laaaan. Huahaha. Udah nyaris ke luar api dari kepala lo!"

Gemaya melengos begitu saja. Ingin sekali menumpahkan isi kantong plastiknya ke wajah Dewangga yang menyebalkan.

"Selow, Bro...Selow..." Dewangga mengangkat sepasang tangannya ke samping telinga, mengajak berdamai.

"By the way, lo juga anak UnGar nggak, sih?" tanya Dewangga mulai penasaran.

Rasanya aneh saja, ia seperti pernah melihat Gemaya. Familiar juga dengan gerak-gerik gadis itu. Mungkin baru-baru ini, tapi kenapa ia tidak ingat kapan dan di mana tepatnya mereka bertemu sebelumnya?

"Iya," jawab Gemaya cepat, di luar kendali.

Duh, bego banget sih gue. Ntar ketahuan kalo gue Gemaya yang pernah nolak diajak kenalan dia, dong.

"Jurusan apa?" Sembari memetik senar-senar ukulelenya, Dewangga kembali menginterogasi. 

Gemaya meneguk ludah, membasahi kerongkongannya yang mendadak dilanda kekeringan. Bingung harus mengarang bebas apalagi kalau sampe Dewangga bertanya macam-macam?

"Jurusan Akuntansi," jawab Gemaya setengah menggantung. Nada bicaranya aneh. "Iya, gue anak Akuntansi angkatan 2019," ujarnya mempertegas.

"Wah, MABA dong? Mahasiswa Baru kudu diospek lagi, nih." Dewangga menanggapi heboh, menggodanya. "Eh, tapi kemarin anak F.E ada ospek nggak, sih? Kayaknya cuma FBS yang gila-gilaan ngospeknya.

Mampus, mana gue tahu?

Sedang buntu-buntunya, Gemaya mendadak teringat dengan teman satu kosannya, Bela, dia mahasiswi baru jurusan akuntansi.

GEMAYA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang