First Tears

2K 347 12
                                    

Lima hari sudah kepulangan sang kekasih tertunda. Hal ini tentu saja membuat Xie Lian sangat cemas. Apalagi San Lang sama sekali tidak memberinya kabar. Ia mendadak lost contact di hari seharusnya sang kekasih kembali.

Xie Lian baru menyadari kebodohannya selama ini. Dia sama sekali tidak tahu menahu anggota keluarga, teman, atau siapapun yang bisa dihubungi untuk bertanya mengenai kekasihnya. Dia sangat bingung. Ingin bertanya tapi pada siapa? Sudah berkali-kali tanpa henti lima hari ini ia mencoba menghubungi ponsel San Lang tapi selalu tidak dapat tersambung. Hal apakah yang sedang terjadi pada sang kekasih? Apakah itu sesuatu yang buruk?

Xie Lian merasa tidak berguna. Dia merasa sudah cukup dengan kehadiran San Lang di sisinya dan tidak begitu memperhatikan hal-hal lainnya seperti siapa keluarga atau teman-teman kekasihnya. Jika dipikirkan lagi San Lang memang tidak pernah membicarakan tentang mereka. Dia terkesan tertutup dengan segala hal yang bersifat pribadi. Sementara Xie Lian sudah sepenuhnya percaya dan telah dua kali membawa San Lang ke rumah orang tuanya. Dirinya bahkan belum pernah sekali saja diperkenalkan sebagai calon pendamping kepada keluarga sang kekasih. Bukannya dia meragukan perasaan San Lang untuknya, tapi... ah sulit untuk dijelaskan.

Xie Lian berdiri di depan pintu rumah sebelah. Menunggu dengan sabar seseorang dari dalam membuka pintu untuknya. Dia jelas bukan tipe seperti penghuni rumah yang tukang selonong. Butuh waktu lima menit ketika Wei WuXian muncul di hadapannya. Ini sudah siang hari tapi penampilan pemuda di depannya masih kacau seperti orang yang baru bangun dari ranjang. Rambutnya acak-acakan, dia memakai kaos polos putih kebesaran yang menutupi hingga setengah pahanya. Membuat Xie Lian ragu apakah di baliknya pemuda itu memakai celana atau tidak.

"Lian Gege, ada apa?"

Belum sempat Xie Lian menjawab, Lan WangJi muncul di belakang Wei WuXian dan berbicara dengan nada mengingatkan, "Wei Ying."

"Oh Lan Zhan aku lupa." Nada bicara itu membuat Wei WuXian kembali masuk ke dalam.

Berbanding terbalik dengan penampilan kelasihnya, Lan WangJi tampak rapi seperti biasa walaupun dengan setelan kasual yang dikenakannya. "Silahkan masuk."

Xie Lian tetap berdiri. "Tidak perlu." Dia menjalin kesepuluh jemarinya, merasa canggung karena tidak terlalu sering berbicara berdua dengan orang di depannya. "Apa kamu tahu orang yang bisa dihubungi untuk menanyakan keberadaan San Lang?"

Ekspresi datar Lan WangJi sama sekali tidak berubah. "Tidak." Jawabannya juga sangat singkat, padat, namun tidak jelas.

Untunglah Wei WuXian segera muncul kembali dengan penampilan yang lebih rapi, celana pendek selutut dan kaos polo berwarna hitam. "Kenapa tidak masuk?"

Xie Lian mengulangi jawaban sekaligus menanyakan hal yang sama yang tadi telah terlebih dulu dikatakannya kepada Lan WangJi.

"Tidak perlu khawatir. Ini bukan masalah besar. Dia bahkan pernah satu bulan tidak pulang."

Jawaban itu tidak membuat Xie Lian merasa jauh lebih baik.
Dia undur diri dari pasangan di depannya walaupun tidak berhasil mencari apa yang dia butuhkan. Setelah pintu ditutup samar-samar ia mendengar Lan WangJi menegur Wei WuXian, "Sudah ku katakan jangan keluar dengan penampilan seperti tadi."

"Iya-iya. Maafkan aku. Aku hanya boleh begitu jika di depanmu kan?"

Xie Lian hanya bisa menggelengkan kepala. Ia hendak bertanya pada penghuni rumah berwarna hijau, namun begitu sampai di depan pintu, dia disambut dengan sebuah kertas yang tertempel di atasnya.

Sedang berlibur berdua bersama Shizun. Jangan ganggu.

Bukankah sebagai sesama mahasiswa tingkat akhir dia harusnya sedang sibuk dengan skripsi?

Dalam hati dia bertanya bagaimana dosen Shen bisa takluk pada mahasiswa satu itu?
.
.
.
Xie Lian menatap hampa pada layar laptopnya. Tugas skripsinya sudah terbengkalai selama tiga hari terakhir. Ayolah siapa yang bisa berpikiran jernih jika pasangannya menghilang tanpa kabar. Dengan kesal dia menutup laptop, tidak ada mood untuk terus melanjutkan. Ia meraih ponsel dan mencoba kembali menghubungi San Lang.  Tapi jawabannya masih lah sama.

Nomor yang anda tuju sedang tidak--

Ponsel tak bersalah itu dibanting ke atas kasur.

Lima hari. Sudah lima hari dia merasa sangat kacau. Total sudah dua puluh hari dia tidak bertemu dengan kekasihnya. Xie Lian tidak bisa makan ataupun tidur dengan benar. Dia memijat pelipisnya, merasakan kepalanya tiba-tiba memberat. Dilihatnya sekeliling kamar namun seperti ada kabut yang membayangi pandangannya. Kabut itu semakin pekat sebelum semuanya berubah menjadi kegelapan total.

Xie Lian bangun keesokan harinya. Kepalanya masih pusing dan belum juga membaik. Dia bangun dari ranjang dengan sempoyongan. Perutnya terasa melilit, efek sudah lama tidak diisi. Tenggorokannya sangat kering. Ia butuh minum dan mengisi perut. Dia berjalan ke arah dapur dengan berpegangan pada dinding, takut jika tubuhnya tiba-tiba ambruk. Xie Lian membuka kulkas. Diambilnya satu botol air mineral dan langsung menenggaknya. Merasakan sensasi dingin turun mengaliri tenggorokannya yang kering kerontang. Menjadikannya lebih segar. Dia baru akan membuka satu bungkus roti namun diurungkannya ketika mendengar suara bel.

Begitu pintu rumah dibuka,  mata Xie Lian langsung terbelalak lebar melihat dua orang di depannya. Satu orang tengah memapah orang lainnya. Roti di genggamannya terjatuh. Tanpa ia sadari matanya mengeluarkan air mata yang membasahi wajahnya. Entah itu air mata bahagia karena akhirnya bisa melihat sang kekasih kembali atau air mata kesedihan melihat kondisi tubuhnya.

A/n : boleh dong saya minta feedback dari para readers? Entah itu vote, kritik, saran, ataupun komen.

FIRST THEMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang