Ini bukan kali pertama lusi menghabiskan akhir pekannya dengan bekerja, tanpa penolakan tanpa alasan, pekerjaan menuntutnya siap sedia dua puluh empat jam dalam sehari, bahkan tujuh hari dalam seminggu bila perlu, Tepat pukul empat pagi saat matahari bahkan belum juga muncul panggilan kerja kembali menanti "saya main golf di nusa dua hari ini" artinya janji spa dengan inge dan tata harus batal, lusi harus menyusul bosnya dengan pesawat pertama ke Bali, dan ini bukan liburan ini pekerjaan, bosnya tak akan sudi menyusuri delapan belas hole hanya untuk berolah raga.
Soekarno Hatta masih lenggang hanya tampak beberapa orang cleaning service lalu lalang membersihkan setiap sudut bandara, lusi berjalan santai menuju ekecutive louge, masih ada setengah jam sebelum pesawatnya lepas landas batinnya, cukup untuk sekedar merias diri, yang jelas kantung mata yang mulai menghitam ini harus di tebus dengan dua jam tidur selama perjalanan jakarta denpasar.
........................................................
"iya nge, gue udah sampe bali" panggilan dari inge masuk begitu lusi menyalakan handphonenya "ya tuhan hon, lu gak cari kerjaan lain aja, ini sabtu dan bos lo gak tau kalau itu hari libur?" omel inge dalam sekali tarikan nafas, "hold on nge, gak setiap weekend kok bos gue kerja" jawab lusi dengan nada menyesal, janji spa yang sudah di buat sejak bulan lalu batal untuk kedua kalinya dan semua karena jadwal kerja lusi yang susah di tebak, dalam hati lusi mengumpat Arjuna muis bosnya, kalaulah bosnya sedikit mengerti bahwa tidak semua orang gila kerja seperti dia, pastinya lusi tidak akan semerana ini, di usianya yang mendekati tiga puluh tahun lusi bahkan tidak bisa membangun hubungan serius, dengan wajah dan tubuh yang bisa membuat perempuan manapun iri tak mungkin ada pria yang bisa menolaknya tapi kenyataan justru sebaliknya setiap laki laki yang mendekat pasti menjauh bahkan menghilang, siapa yang mau pacaran dengan orang yang tidak pernah punya waktu berdua.
Matahari semakin tinggi Mr takeda dan bosnya berjalan menuju lounge sementara lusi berjalan jengah mengekor di belakang bosnya sambil terus menangkap semua percakapan dua orang di depannya di sebelahnya sekretaris Mr Takeda melakukan hal yang sama, kami menatap dan saling melempar senyum simpati, saling mengerti walau tak punya telepati "ini resiko pekerjaan".
Arjuna muis berjalan menyusuri riuhnya lorong dipasar seni ubud, ini memang bukan musim liburan tapi toh itu tak mempengaruhi minat para turis asing menikmati indah dan eksotisnya pulau bali, sejenak lari dari tumpukan pekerjaan seharusnya bukan masalah, di tambah menyusul Mr Takeda bermain golf di bali merupakan keputusan yang tepat, proyek pembangunan pabrik senilai hampir empat triliun sudah selangkah lebih maju tinggal mengalahkan beberapa pesaing lain proyek ini bisa diraih dalam genggaman.
Lusi tampak menikmati suasana di sini, beberapa kali Arjuna menangkap senyum dan binar bahagia dari mata gadis itu, dalam diam Arjuna menikmati pemandangan ini.
"topi itu cocok dengan kamu" lusi terhentak kaget ketika sadar bosnya sudah berhenti mengamati lukisan dan beralih menatapnya yang sedang iseng mencoba beberapa topi yang digantung. "maaf pak" ujar lusi salah tingkah.
"saya ambil topi itu juga pak!" ujar arjuna saat membayar semua belanjaannya. Lusi mengangguk sopan dan berterima kasih, ini bukan kali pertama bosnya membelikan barang yang ia sentuh, ia tahu bukan keputusan yang baik menolak pemberian bosnya, jadi ia berbalik dan lanjut berjalan di belakang Arjuna.
Bahu itu naik turun seirama langkah santai kaki pemiliknya, apa yang salah dari kemeja biru langit yang dipadu dengan celana pendek berwarna putih, kenapa bosnya yang selalu serius terasa begitu berbeda hari ini, kenapa perut dan dadanya di serbu gelenyar tak nyaman sekarang, kenapa.... Bukkk tiba tiba lusi seperti menghantam dinding beton, lamunannya buyar, semua pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya terpencar, bosnya berhenti tepat di hadapannya entah karena bosnya yang mendadak berhenti atau lamunannya yang terlalu menghanyutkan yang jelas kini lipstick warna coralnya sudah berpindah mencoreng punggung kemeja yang sempat mengalihkan fikirannya.
"maaf pak, saya bengong"
Arjuna menatap heran, wajah panik jelas tampak di wajah lusi sekretaris yang sudah bekerja hampir enam tahun kepadanya, tapi untuk apa rona merah yang menghiasi wajah paniknya itu,
"wajah kamu merah lusi, apa di sini terlalu panas? Apa perlu kita istirahat sebentar?"
Bodoooh umpat lusi pada dirinya sendiri dalam hati, walau sebenarnya ia belum faham betul kenapa wajahnya mendadak merona namun ia tahu persis siapa penyebabnya, dan sekarang orang itu berdiri menjulang di hadapannya.
"lusi.....! kamu sakit?"
Lusi gelagapan, dan entah kenapa dari ribuan jawaban basa basi yang ada didunia lusi memilih jawaban terbodoh yang harus ia sesali sepanjang sisa karirnya sebagai sekretaris.
"hati saya copot pak "
Dan bodohnya lagi butuh beberapa detik untuk lusi menyadari bahwa ia mengeluarkan jawaban aneh dan memalukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
fated to be with you (TAMAT)
Romantizmlusi: aku mencintainya sepenuh hati namun latar belakang keluarga yang berbeda membuatku tak berani menaruh mimipi terlalu tinggi, arjuna terlalu jauh untuk diraih, dicintai oleh lelaki yang menjadi mimpi banyak wanita sudah lebih dari cukup. arjuna...