" Upik, bangun, Pik!"
" Naura .... Sadar, Ra!"
Goncangan di bahuku semakin terasa. Suara-suara yang tadinya sayup-sayup kini sudah terdengar sangat jelas. Aku mencoba untuk membuka mataku. Aroma bawang putih sangat menyengat di sekelilingku. Aku berusaha untuk bangun dan melihat di sekitarku. Semua sedang berkumpul dan mengerumuniku.
" Di ... Mana aku?" tanyaku dengan rasa agak sedikit denyutan di bagian pelipisku.
" Syukurlah kau sudah sadar, Pik," suara Unyang membuatku mengarahkan pandang ke sekeliling ruangan.
" Pinter, dia ada dimana?" tanyaku saat tidak melihat Si Pinter di antara mereka semua.
" Kamu udah sadar, Ra?" tanya Vietta yang sangat cemas.
" Ini, berikan dia minuman dulu!" kata seseorang perempuan tua yang ada di sekitar mereka.
Aku menatapnya dengan canggung. Menurutku, perempuan itu agak sedikit aneh. Entahlah, apa yang membuatku merasa tidak nyaman saat aku sedang melihatnya.
" Ayo, segera diminum!" perintah dari perempuan itu lagi.
Aku segera mengambil gelas yang berisi semacam ramuan/jamu, atau entahlah apa. Aku baru saja menyadari bahwa yang tampak mengerikan dari perempuan tua itu adalah tatapan matanya, juga tembakau yang menyelip di bibirnya. Aku terpaksa menerima gelas yang sudah disodorkan olehnya karena Unyang terlihat sangat mencemaskan ku.
" Ayo Pik, diminum biar cepar cegak kau!" dengan enggan, aku meminumnya sedikit.
" Pa ... Pahit! Hoeeek,"
" Ndak usah manja! Habiskan!" perempuan tua itu menatapku dengan tajam sekali dan sambil menggosokkan tembakau ke giginya.
Sangat terpaksa aku menghabiskan ramuan yang ada di dalam gelas itu. Di bawah tatapan yang tajam Si Perempuan Bertembakau.
" Tempelkan daun ini diatas keningnya kalau dia mau pingsan lagi!" perintah Si Perempuan Bertembakau pada Vietta.
Dia menerima setumpuk daun yang aku yakin Viettapun nggak tahu itu daun apa.Tidak lama kemudian, Vietta pergi, setelah berbicara dengan Unyang dengan bahasa daerah yang aku tidak paham dengan artinya. Setelah itu, teman-temanku yang lain kembali mengerumuniku.
" Ra, lo udah baikkan, kan?" tanya Andiko yang sangat khawatir.
" Eh, kok, lo sama Si Pinter bisa pingsan bareng gitu, sih?"
" Iya, Ra, lo berdua abis ngapain disemak-semak kebun belakang itu semalem?"
Kepalaku masih sedikit berdenyut dan ditambah pula dengan pertanyaan beruntun dari anak-anak ini. Sementara, aku pun masih penuh tanya karena tidak melihat Si Pinter yang ada di antara mereka.
" Si Pinter mana?" tanyaku.
" Tuh!" anak-anak menunjukkan seseorang yang masih terbaring diatas tikar di ruang tengah, yang ada dipunggung anak-anak cowok itu.
" Dia masih pingsan? " tanyaku yang sangat khawatir.
" Enggak, dia ngorok lagi habis liat Nenek sihir," cengir Agum.
Aku sedikit lega karena ternyata Si Pinter hanya masih tidur, bukan benar-benar pingsan. Aku mulai menceritakan pada mereka awal mulanya bisa berada di pekarangan belakang bersama Si Pinter.
" Semalem, perut gue mules banget gara-gara makan durian terlalu banyak. Terus, gue pergi kebelakang yang ternyata ada Pinter juga sama mulesnya kek gue," Aku berhenti sejenak. " Setelah selesai, gue sama Si Pinter mendengar ada suara tangisan bayi dan jeritan orang yang sedang meminta tolong,"
![](https://img.wattpad.com/cover/203851236-288-k253583.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MAK TUO { LENGҞAP √ √}
FantasyPerempuan tua yang akrab dengan sugi di mulutnya dipanggil Mak Tuo, dia satu - satunya dukun beranak di Jorong Durian Tiga Batang. Naura, Vietta, dan keempat temanya pernah bertemu dengan Mak Tuo ketika berlibur ke kampung halaman Andiko. Desas - de...