" Naura, baju kotormu udah numpuk, nih!" teriak Vietta.
" Iya, Vi, tapi aku nggak lihat mesin cuci dirumah ini!"
" Raaa, pleasee, deh, enggak usah manja kayak gitu. Yuk kita berangkat kebendungan, buat mencuci baju disana kayak orang-orang disekitar sini!" ajak Vietta setengah emosi.
" Woi, kalian pada mau kemana?" panggil Syahreza ketika melihat kami berjalan ke luar dari rumah Unyang.
" Mau ke Bendungan, kita mau mencuci baju disana biar kayak gadis desa juga," jawabku sambil terkekeh.
" Gue ikut juga yak, gue mau mancing," kata Si Pinter.
" Gue juga mau, gue mau latihan loncat!" susul Syahreza.
Mereka akhirnya ikut ke Bendungan bersama-sama.
Pengalaman yang sangat luar biasa yang membuatku dan Vietta bisa mencuci baju tanpa harus menggunakan mesin cuci! Meskipun cukup berat, tapi sangat menyenangkan. Si Pinter, Andiko, dan juga Syahreza berlatih loncat indah bersama Agum dan Hanif." Oii ... Balik, yuk, udah selesai, nih soalnya!" ajakkan pada anak-anak cowok itu.
" Duluan aja, kita masih mau mandi dan berenang disini," jawab Andiko.
" Yuk, Ra, balik biarin mereka!" Vietta menggamit lenganku agar bergegas menaikkan cucian ke atas sepeda.
Aku dan Vietta berjalan beriringan menuju rumah Unyang sambil menuntun sepeda yang dimuati cucian kami.
" Vietta, kita lewat jalan yang itu saja," kataku sambil menunjukkan sebuah jalan setapak itu.
" Memangnya ini jalan menuju ke rumah Unyang?"
" Iyalah, kayaknya lebih singkat juga," jawabku yakin.
" Awas lhoo kalau nyasar, Ra!"
" Enggak balakan, Vietta. Soalnya keranjang cucian ini lumayan berat kalau lewat jalan yang kayak biasanya," kataku yang terus saja berjalan mengikuti jalan setapak itu.
" Iya ... Yuk, biar cepat!" ajak Vietta akhirnya.
Tidak begitu jauh dari jalan yang kami tempuh, tampak sebuah rumah kayu yang tertutupi oleh beberapa pohon sawit, mangga, serta pohon-pohon lainnya.
" Vi, aku jadi ingat sesuatu deh."
" Apa?"
" Itu, sewaktu aku dan Si Pinter pingsan pada malam itu, kayaknya rumah itu deh yang aku lihat!" tunjukku pada rumah kayu yang tidak terlalu besar.
" Hmmm... Masa sih?"
" Iya, Vi beneran kok. Aku masih ingat betul tangga kayu itu!" tunjukku sekali lagi.
" Tapiii ... Kamu bilang dibelakang rumah Unyang. Ini masih jauh kalau sampai ke rumah Unyang," kata Vietta.
" Iya, juga sih, tapi seingatku rumah itu memang sekecil kaya itu," ucapku sekali lagi, yang berusaha meyakinkan kepada Vietta sambil mengingat-ingat kejadian malam hari itu.
" Emmm .... Kalau memang benar berarti kamu dan Pinter cukup jauh juga dong, keluar dari halaman rumah Unyang?" selidik Vietta.
" Iya, pantas saja Hanif bilang nggak ada rumah di halaman belakang rumahnya Unyang." Aku sambil manggut-manggut sendiri.
" Ra ...." Tiba-tiba, suara Vietta menjadi bergetar. Dia diam terpaku. Aku sangat heran saat melihat Vietta yang badannya tiba-tiba bergetar dan dengan tatapan mata yang sedang tertuju pada satu tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAK TUO { LENGҞAP √ √}
FantasiPerempuan tua yang akrab dengan sugi di mulutnya dipanggil Mak Tuo, dia satu - satunya dukun beranak di Jorong Durian Tiga Batang. Naura, Vietta, dan keempat temanya pernah bertemu dengan Mak Tuo ketika berlibur ke kampung halaman Andiko. Desas - de...