♥...§ξp∪l∪∏...♠

1.8K 96 0
                                    

     Pagi-pagi sekali, aku sudah terbangun karena mencium aroma makan yang sangat enak. Sudah bisa ditebak itu adalah masakan Unyang. Ternyata Vietta belum bangun juga. Mungkin, karena lelah, soalnya semalam sampai dirumah sudah hampir tengah malam. Aku menuju dapur dan disana sudah ada Udo, Unyang, dan juga Bidan Ises. Udo yang menyadari kehadiran ku langsung menyapa.

     " Hai, Naura, sudah bangun ya?"

     " Iya, Udo soalnya aku mencium aroma masakan yang sangat enak! Hihihi ...," jawabku dengan jujur.

     " Bidan Ises lagi bikinin lapek pisang sedangkan Unyang lagi buat bubur kacang padi."

     " Hah? Apa itu lapek? Dan, padi yang dibuat menjadi bubur kacang?" tanyaku dengan kebingungan.

     " Maksudnya, lapek itu lepat dan bubur kacang padi itu adalah bubur kacang hijau, Naura, paham?" jelas Bidan Ises dengan senyuman yang lebar kayak biasanya.

     " Oalaaah, hehehe .... Uni sama Unyang rajin banget yah!" kataku yang dibalas dengan senyuman dari Unyang.
 
     Bisa kupastikan bahwa Unyang itu sewaktu muda-mudanya dulu itu sangat cantik. Guratan kecantikannya masih melekat di antara kerutan diwajahnya yang keriput. Maklumlah, beliau sudah berumur 90 tahun lebih. Satu lagi yang perlu kalian catat, Unyang belum pikun. Beliau masih bisa membaca dengan sangat jelas dan beliau tetap sehat.

     " Oya, tumben Uni sepagi kayak gini sudah datang?" tanyaku kepada Bidan Ises.

     Aku mengikuti Bidan Ises yang sedang duduk dibangku teras dapur setelah memasukkan lapek pisangnya ke dalam kukusan.

     " Iya, soalnya hari ini mau ada imunisasi. Tempat praktik Uni belum selesai dan belum bisa digunakan, jadi Uni numpang di rumah Unyang biar imunisasinya disini saja."

     " Oh ... Kenapa enggak dirumah sakit yang kemarin saja?"

     " Disana juga ada, tapi tempatnya agak kecil dan jaraknya juga agak lumayan jauh dari sini," jelas Bidan Ises.

     " Uni sudah kayak akrab sekali dengan keluarga sini?"

     " Yaaa, begitulah ... Mereka kelurga yang sangat ramah dan juga sangat baik hati. Meskipun, Uni orang baru yang hanya ditugaskan disini."

     " Mmm ... Memangnya, Uni asalnya dari mana?"

     " Uni berasal dari Kota Padang, Ibu Kota Provinsi Sumatra Barat. Selesai sekolah kebidanan ditugaskan didaerah sini sebagai Bidan Desa," cerita Uni Ises panjang lebar.

     Aku hanya manggut-manggur saja sambil memperhatikan kecekatan Uni Ises yang sedang membungkus adonan pisang dengan daun. Sepintasnya, aku sengaja melihat cincin yang melingkar di jari manis tangan kiri bidan itu. Bermata hijau. Mungkin, dia sedang mengikuti tren batu akik.

     Sesaat itu, aku terpana, apa mungkin dia adalah ....

     Di halaman rumah Unyang sudah terlihat oleh kedatangan anak dan balita beserta ibu-ibunya. Aku dan Andiko ikut membantu membagikan bubur  kacang hijau dan juga lapek pisang. Beberapa anak dan bayi terlihat menangis sangat histeris karena disuntik oleh Bidan Ises. Keramaian suasana di rumah Unyang dikejutkan oleh kedatangan seorang laki-laki yang berkumis lebat. Dia datang sambil menggendong bayi.

     "  Hentikan semua ini sekarang juga!!, Bidan sial!" serunya dengan penuh kemarahan.

     Ada beberapa ibu-ibu yang sedang berdiri didekat pohon sawo yang tengah berbisik-bisik dengan teman  sebelahnya.

     " Itu kenapa anak kita disuntik sampai nangis begitu, sih?"

     " Iya, ya, kasihan banget denger tangisannya itu."

     " Ah, bener juga ya, tuh si anu bilang, anak kita bakalan disakitin sama Bidan itu!"
    
     Bidan Ises itu langsung menghadapi bapak yang berkumis lebat.

     " Tenang dulu, Pak, dan tolong jangan emosi, coba jelaskan dengan pelan-pelan. Ada apa?"

     Semua orang yang ada disana terdiam yang sedang menonoton apa yang sedang terjadi. Apalagi, bapak yang berkumis itu berkata dengan suara yang sangat lantang dan penuh kemarahan.

     " Woi, kalian semua yang berada disini! Diharapkan berhati-hatilah terhadap Bidan ciloko ini! Kemarin siang, anakku disuntik sama bidan itu, padahal aku sudah melarang istriku, tetapi bidan sialan itu terus membujuknya sehingga anakku bisa disuntik juga! Sekarang, anakku demam panas dan juga kejang-kejang! Bidan itu harus bisa bertanggung jawab!"

     Aku dan Vietta seketika terdiam di tempat kami yang sedang berdiri, begitu juga dengan teman-teman yang lainnya. Udo terlihat tidak senang dengan apa yang sedang dikatakan oleh bapak-bapak itu. Tapi, Bidan Ises terlihat begitu tenang saja menghadapi dan berkata dengan sangat ramah.

     " Pak, Bapak sebaiknya tenang dulu. Biar saya periksa keadaan anak Bapak itu. Silahkan masuk dulu, Pak."

     " Kau enggak usah manis dimulut lagi, nih, kau lihat saja sendiri Si Buyung jadi kejang-kejang!"

     " Iya, Pak, berikan Buyung itu kepada saya biar saya periksa dulu."

     Bidan Ises segera mengambil bayi yang atas bernama Buyung itu dan segera memeriksa kondisinya dengan sangat teliti. Dia sedang mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lalu menempelkan di kening Buyung. Tidak membutuhkan waktu yang cukup lama, bayi laki-laki yang disebut Buyung oleh bapakanya itu mulai bergerak dan menangis dengan suara yang sangat kencang. Bidan Ises langsung bergegas membuatkan susu formula dan bayi yang berusia sekitar 4 bulan itu sedang menghisapnya dengan lahap.

     " Anak saya sudah mau menyusu! Anak saya sudah tidak panas lagi!" seru bapak yang berkumis itu setengah berteriak.

     " Pak, Buyung tidak apa-apa. Dia hanya membutuhkan minum yang banyak," jelas Bidan Ises sambil memberikan 2 kotak susu formula itu, lengkap dengan botol susunya.

     " Jadi ternyata, Buyung tidak apa-apa, Bu?"

     " Iya, Pak, Buyung baik-baik saja. Nanti kalau dia tidak mau minum ASI sebaiknya berikan saja susu ini."

     Di antara tatapan ibu-ibu yang hampir saja terhasut oleh tindakkannya tadi, bapak berkumis itu yang sedang menggendong Buyung, lalu segera pergi begitu saja.

    " Huh! Dasar bapaknya Si Buyung!" gerutuan beberapa ibu-ibu disana.

     " Ya, ampun, gue tadi udah kaget banget!" seru Andiko yang disambut cengiran Syahreza, Agum, Hanif, dan juga Si Pinter.

     " Emosian banget, sih, tuh, bapak-bapak?" timpal Si Pinter.

     " Wah, masyarakat di sini kayaknya gampang banget tersulut oleh emosi," ucapku menambahkan.

     " Iya, kamu emang benar, Naura. Disini masih banyak yang belum paham dengan kesehatan dan program-program pemerintah yang berhubungan dengan itu," kata Udo sambil tersenyum lega.

     Tidak berapa lama, kegiatan Posyandu itu pun sudah berakhir  dan para ibu-ibu itu sudah pulang kerumahnya masing-masing. Bidan Ises terlihat begitu lega. Aku dan Vietta menghampirinya.

     " Berat juga ya, Uni tugasnya menjadi bidan di desa seperti ini?" kata Vietta.

     " Ya, begitulah. Tapi, setiap profesi memang selalu ada tantangannya," kata Bidan Ises tersenyum lebar.

     " Kamu memang bidan yang sangat hebat, Ises," ujar Udo yang tiba-tiba datang menghampiri kami.

     " Uhuk, uhuk!" goda Hanif dan Agum sambil pura-pura terbatuk.

                     🍂🍂🍂

Lanjuuuttt, yak...
Hehehe.... 🤣
Jangan lupa koment and votenya, ya, guuuyyysss... 😂🤣🤣

MAK TUO { LENGҞAP √ √} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang