🗾ɗɛʆɑpɑɳ🗾

2K 93 4
                                    

     Malam ini, aku dan yang lainnya hanya duduk di teras rumah Unyang yang sangat luas. Andiko, Hanif, dan Agum bergantian untuk menceritakan hal-hal yang belum kami ketahui tentang kampung ini. Hanif dan Agum sangat bersemangat sekali untuk mendengarkan ceritaku, Si Pinter, Syahreza, dan Vietta tentang teman dan guru-guruku di sekolah. Tentang mall favorit kami yang ada di Jakarta, tentang kue cubit green tea, dan masih banyak lagi.

     Ada sebuah sepeda motor yang memasuki perkarangan. Perempuan muda dan wajahnya yang manis datang dengan raut wajah yang sangat cemas dan tergesa-gesa.

     " Assalamu'alaikum!"

     " Wa'alaikumsalam, ada apa, Uni?" tanya Hanif.

     " Kamu tahu nggak tentang rumah Bu Lela dimana?"

     " Bu Lela?”  tanya kami bersamaan.

     " Iya. Bu Lela yang sedang hamil besar itu, lhooo! Yang anaknya ada 10,"

     " Oooh, Etek Lela," jawab Hanif dengan bahasa padang yang khas.

     " Iya ... Kamu tau nggak dimana rumahnya?"

     " Agum tau, Ni. Rumahnya ada di jalur tiga. Memangnyo ado apo ko, Ni?" tanya Agum penasaran.

     " Etek Lela itu sudah mau lahiran dan meminta bantuan dari dari Uni. Kalian mau nggak nganterin Uni kesana?" tanya perempuan yang sangat muda yang ternyata adalah seorang bidan yang bernama Ises. Semua memanggilnya Uni Ises.

     " Aku mau, Ni," jawab Agum.

     " Kita ikut juga, boleh nggak?" tanyaku kepada Agum.

     " Tapi ... Ini sudah gelap, nanti ada ...," kata Syahreza dengan ekspresi wajah yang sangat takut.

     " Huuusssshhh!!"  sahutku sambil membungkam bibir Syahreza.

     " Kamu nggak boleh ngomong yang aneh-aneh kayak gitu Syahreza, lagian kita berangkatnya bareng-bareng," lanjut ku lagi.

     Akhirnya Syahreza mau ikut kami juga karena enggak mau dibilang cemen sama Andiko dan Si Pinter.

     " Oke, kalo gitu. Yuk kita berangkat sekarang!"

     " Uni, jalur tiga itu lumayan jauh kalau jalan kaki dari sini. Disana juga sangat gelap. Rumah yang sudah punya lampu bisa dihitung sama jari!"

     " Tuh ba'a lai?" jawab perempuan yang dipanggil Uni Ises itu mulai sangat panik.

     " Minta tolong sama Si Udo aja," kata Hanif memberikan saran.

     " Iya, biarkan gue saja yang panggil Si Udo," Andiko segera berlalu.

     Bidan Ises terlihat semakin resah, sementara diuar sana burung hantu dan jangkrik mulai beradu suara dengan sangat lantang. Udo keluar dari dalam rumahnya, yang masih dengan peci dan kain sarung dipinggangnya. Udo yang terlihat sangat bingung menyaksikan kegelisahan kami. Bidan Ises menceritakan semuanya dan Udo segera bergegas mengeluarkan mobil dari garasi yang terletak di halaman belakang rumahnya.

     Dan," Mobil" yang dikatakan oleh Udo itu ternyata mobil dengan bak yang terbuka, biasanya dipakai Udo untuk membawakan hasil panen kebun dan ladangnya.

     " Kita akan naik ini?" tanya Vietta dengan ragu-ragu.

     " Maaf ya, adanya cuma mobil ini. Nggak mungkin 'kan pakai mobil sedan?" Udo sambil tersenyum dengan penuh arti.

     " Iyo, Do, ndak ba'a, yang penting bisa sampai," kata Uni Ises.

     " Ayo, Bu Bidan, silahkan masuk terlebih dahulu," Udo segera membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Uni Ises masuk kedalam.

MAK TUO { LENGҞAP √ √} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang