Perjalanan panjang dengan mobil kembali dimulai. Kota yang menjadi tujuan kami masih harus ditempuh sekitar 7 jam lagi dari sini. Aku sama sekali tidak menyangka, ternyata menuju ke kampung halaman Andiko akan melalui jalanan dengan pemandangan hutan rimba. Di beberapa daerah yang kami laui mulai terasa hawanya yang sangat berbeda dari suasana Jakarta. Bagitu mobil berhenti sejenak untuk mengisi BBM dan istirahat untuk makan, kami sudah mendengar bahasa dan logat bicara Khas Sumatra. Belum lagi, pemandangan beberapa bangunan yang sudah tua yang menggoda diabaikan oleh DSLR.
" Anak-anak, kita udah sampai di kota padang!" seru Om Bas bersemangat.
" Kita udah sampai, ya?" tanya Si Pinter yang baru saja terbangun dari tidurnya.
" Rumah buyut lu ada dimana, Ko?" tanya Syahreza.
" Yaelah, ini aja baru sampek di IBU KOTA PROVINSI SUMATRA BARAT, rumah tujuan kita masih sekitaran 3 jam lagi," tukan Om Bas.
Kami semua melongo tak tau harus bicara apa lagi.
" KIRAIIINNN...! Seru kami kompak.
💠💠💠
Kami melewati bangunan dengan atap yang sangat Khas, seperti tanduk kerbau. Kata Om Bas itu namanya atap bagonjong. Tampak juga dengan sangat megah sebuah masjid yang sangat indah, yaitu Masjid Raya Sumatra Barat. Tapi, mobil yang kami hanya sebentar melewati kota, kemudian kembali melaju, memasuki daerah yang di sepanjang jalannya hanya terlihat pemandangan perkebunan sawit.
" Selamat datang di kampung halamannya Andikooo!" seru Om Bas sambil merentangkan tangannya saat keluar dari mobilnya.
Aku keluar dari mobil, kemudian diikuti oleh Vietta dan yang lainnya. Mobil berhenti tepat di sebuah pekarangan yang sisi kanan dan kirinya di tumbuhi beberapa batang pohon jeruk yang berubah dengan lebat. Rumah yang kami tuju adalah sebuah rumah kayu yang cukup luas. Berdiri diatas bidang tanah yang aku bisa pastikan sangatlah luas. Dan yang menariknya, sekeliling rumah itu terdapat perkebunan sawit sejauh mata padang.
Seorang perempuan tua dengan uban yang memenuhi kepalanya menyambut kami. Dia adalah Unyang, nenek buyutnya Andiko. Om Bas adalah cucu Unyang yang paling kecil. Kedatangan Om Bas, Andiko, dan kami disambut oleh Unyang dengan jamuan makanan yang luar biasa enak. Ada rendang daging sapi, ayam goreng bumbu, sambal lado petai, dan juga rebusan sayur daun singkong plus terong ungu.
Unyang adalah sebutan untuk nenek buyut oleh masyarakat di daerah ini. Kalau Om Bas saja adalah cucu Unyang yang bungsu, maka Andiko itu adalah anak dari cucu Unyang. Yap, Andiko itu anak kakak perempuan Om Bas. Kalau tidak salah, nenek tua yang dipanggil dengan sebutan Unyang itu usiannya 90 tahun lebih. Unyang memiliki 6 anak, 13 cucu dan 6 orang cicit. Meskipun sudah tua, Unyang masih terlihat sehat.
" Buah huaaahhh ...," teriakkan Si Pinter lagi kepedasan.
" Makanya sambelnya pakai nambah sih, Ter," kataku pada cowok yang sekarang pipinya seperti tomat ranum itu..
" Ayo, Pik ... Nambah lagi nasinya," kata Unyang kepadaku dan Vietta.
" Pik? Eh, um, namaku Naura, unyang, dan ini namanya Vietta bukan Upik," ralatku sambil tersenyum manis.
" Naura, Vietta! Pik itu nama panggilan buat anak perempuan, disingkat dari kata Upik," jelas Om Bas sambil tertawa melihat ekspresi bingung ku.
" Oooh, gitu, ye ..." Aku tersenyum malu.
" Hihihi ... Iya, Ra. Bantu juga si Pinter, gue dan Syahreza bakal dipanggil sama Unyang. Iya kan, Nyang?" Andiko tergelak
Kami manggut-manggut, kemudian meneruskan makan siang yang sangat lezat, meskipun agak kepedasan.
🍒🍒🍒
Rumah buyut Andiko, terletak di tengah-tengah perkebunan sawit milik keluarganya. Sebuah desa di Provinsi Sumatra Barat, tepatnya Kabupaten Pasaman Barat. Daerah ini sangat terkenal sebagai penghasil kelapa sawit yang terbesar.
Rumah kayu milik Unyang yang sangat luas itu berada di sebuah perkampungan yang mereka sebut dengan jorong. Jorong Durian Tiga Batang, itulah namanya. Rumah it dihuni oleh beberapa anak cucu dan menantunya. Sepupu Andiko ada tiga yaitu, Udo, Agum, dan Hanif. Agum dan Hanif hampir seumuran dengan kami, sedangkan Udo sudah selesai kuliah.
Setelah makan dan badan yang terasa luar biasa lelah, akhirnya kami memutuskan untuk segera tidur. Sebelum tidur, aku masih sempet mengobrol dengan Vietta.
" Ohya Vi, aku jadi penasaran dimana ya, pohon durian itu?"
" Haaa?! Pohon durian apaan, sih, Ra?"
" Yaaa, bukannya nama kampung ini itu durian tiga batang yah?! Nah, aku jadi pengen tau tumbuhannya tu ada di mana?"
" Hmmm ... Ada-ada aja sih, kamu Ra. Ya bukannya, aku udah ngantuk, nih! Yuk bocan, aja!" ajak Vietta yang sambil menguap lebar.
" Tapi, aku kan jadi pengen makan durian, Viii. Soalnya sepanjang jalan tadi aku sedang melihat ada orang yang banyak banget jualan durian itu, Viii!"
Vietta enggak menyahutiku lagi dan aku perlahan-lahan mendengarkan tarikan napas yang teratur. Dia telah tidur dengan sangat pulas. Aku pun segera berdoa sebelum memejamkan mata.
🍂🍂🍂
Maaf yah guys ceritanya ngk asik... Maklum lah masih belajar... 😂
Jan lupa di vote dan koment yak... 😉😂...Salam dari aisyah😹
KAMU SEDANG MEMBACA
MAK TUO { LENGҞAP √ √}
FantasyPerempuan tua yang akrab dengan sugi di mulutnya dipanggil Mak Tuo, dia satu - satunya dukun beranak di Jorong Durian Tiga Batang. Naura, Vietta, dan keempat temanya pernah bertemu dengan Mak Tuo ketika berlibur ke kampung halaman Andiko. Desas - de...