🍃 ɖųą ცɛٳąŞ 🍃

1.6K 90 1
                                    

     " Ra, aku masih belum mengerti dengan apa yang kita lihat barusan," kata Vietta sambil merapatkan pintu kamar.
    
     Aku sambil memberikan sebotol air mineral kepada Vietta setelah meneguknya beberapa kali. Kejadian yang tadi itu cukup membuat aku dan Vietta sangat ketakutan.

     " Vi, sepertinya orang yang melukai bayi itu tadi mirip dengan seseorang, deh."

     " Iya, Ra, kamu bener. Aku juga merasakan sudah pernah melihatnya."

     " Dari awal, aku sudah punya firasat yang aneh saat aku pertama kali melihat perempuan tembakau itu."

     " Naura, kamu bener, berarti dia ...." Vietta berkata dengan sedikit ragu-ragu.

     " Sudahlah, Vietta. Kita enggak boleh hanya menduga-duga, tapi aku yakin banget dia itu sudah tua dan seorang perempuan juga," jelas ku kepada Vietta.

     " Iya, sih."

     " Tapi, ada satu hal lagi yang membuatku jadi kepikiran, Vi," kataku.

     " Soal apa?" tanya Vietta penasaran.

     " Semua kejadian ini saling barkaitan," ucapku, sambil menerawang dan duduk di atas kasur sambil memeluk lutut. Vietta mengikutiku dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu juga.

     " Ummn, aku menemukan ada hubungannya di antara mimpi kamu, naskahku, dan apa yang kita hadapi sekarang ini," jelas Vietta.

     " Apa itu?" Aku terlonjak saat mendengarkan yang dikatakan oleh Vietta, tetapi aku tersadar dan sambil mengingat-ingat sesuatu yang selama ini ingin kukatakan pada Vietta, tapi selalu saja terlupa.

     " Nah! Aku juga ingin mengatakan hal yang sama, Vi," seruku.

     " Naskah novelku menceritakan tentang dua orang perempuan," ucap Vietta.

     " Yang setting-nya ada disebuah daerah antah-berantah," potongku.

     " Kamu tepat sekali! Negeri antah-berantah itu sedang meminta tumbal-tumbal berupa bayi dan gadis perawan," lanjut Vietta.

     " Gadis-gadis perawan?" Aku sedang mencoba mengingat-ingat naskah Vietta yang pernah ku baca sebelumnya. Seketika, aku menutup mulutku sendiri, teringat pada sesuatu hal yang lain.

     " Viii .... Jangan bilang, aku dan kamu juga akan jadi tumbal di Jorong Durian Tiga Batang ini," kataku sedikit bergidik ngeri.

     " Semoga saja tidak, Naura."

     " Tapi, di naskah Tumbal, kamu menuliskan seperti itu!" kataku hampir menjerit tidak percaya.

     " Di naskahku, perempuan muda itu seseorang yang tersadar di daerah itu," kata Vietta tanpa menghiraukan ucapanku.

     " Kalau kita, kan, tidak tersadar," aku menjawabnya sendiri dengan sedikit tidak yakin.

     " Sebentar, aku akan lihat lagi naskahku." Vietta buru-buru mengambil laptopnya dan mulai mengaktifkannya. Dia mencoba mencari file naskahnya. Aku dan Vietta membacanya dengan seksama.

     " Di dalam mimpiku, perempuan itu mengenakan cincin bermata hijau yang terlepas dadi jarinya!" jeritku seolah menemukan sesuatu yang hilang.

     " Tapi, aku enggak pernah nulis soal cincin di dalam naskahku, Naura!"

     " Memang enggak ada di dalam naskah kamu itu, tapi ada di dalam mimpiku. Dan, aku pernah melihat cincin yang sama persis dipakai oleh ...."

     " Oleh siapa?" potong Vietta.

     " Dipakai oleh Uni, eh, Bidan Ises!"
    
     Vietta membelalakkan matanya yang sangat terkejut saat mendengarkan ucapan ku. " Se ... Seriusss kamu???"  Vietta menatapku dengan tidak percaya.

     Aku hanya menganggukkan kepala, dengan sangat yakin karena beberapa kali memang pernah melihatnya di jari manis bidan desa itu.  Cincin yang sama persis dengan cincin perempuan yang sedang dibakar yang ada di dalam mimpiku.

💍💍💍

     " Nauraaa, Viettaaa, kalian ada di dalamkan?" Suara dari Andiko dan Agum terdengar berbarengan dengan suara ketukan yang berulang-ulang.
    
     Aku dan Vietta segera membukakan pintu, lalu keluar dari dalam kamar.

     " Iya, ada apa sih?" tanya Vietta.

     " Syukurlah kalian ada di dalam rumah. Suasana sangat kacau benget soalnya, Roh tumbal sedang mencari korban untuk tumbal aku tumbalnya!" jelas dari Agum ketakutan.

     " Haaa? Maksud kamu apa?"

     " Buyung dan Bidan Ises telah lenyap!"

     " Apa? Hilang bagaimana sih?" tanyaku dan Vietta bersamaan.

     Aku benar-benar sangat kaget saat mendengarkan apa yang dikatakan oleh Andiko. Buyung hilang? Lalu, Bidan Ises ada di mana? Tapi, belum sempat mengatakan apa yang terpikirkan olehku, suara gaduh sudah terdengar sangat jelas di luar rumah.

     " Hai, itu penduduk pada ngajak Udo dan semua para laki-laki di dalam rumah ini untuk mencari Buyung dan Bidan Ises yang telah menghilang!" seru Hanif dan Si Pinter yang sambil berteriak.

     Aku segera menarik tangan Vietta.

     " Vi, menurutmu apa mungkin bayi yang sedang bersama perempuan tua itu adalah Buyung?" Aku bertanya dengan agak sedikit ragu.

     " Ya, ampun, Naura! Jangan-jangan, iya!"

     " Dan, Bidan Ises juga menghilang?" gumamku.

     " Tapi, kenapa Bidan Ises juga menghilang, yah?" Vietta balik bertanya.

     " Ra, kita harus ikutan buat nyari Uni Ises, yuk!" Andiko, Agum, dan Syahreza berteriak mengajakku dan juga Vietta.

     " Iya, kita mau ikut!" ajak ku sambil mengambil jaket dan segera menarik tangan Vietta untuk keluar dari kamar.

     " Naura, kamu serius kita akan ikut mencari?" tanya Vietta yang sudah terlihat cemas.

     " Iyalah, yuk!" Aku menarik tangan Vietta lagi.

🌲🌲🌲

     Saat aku dan Vietta sudah sampai di teras, tampak ada beberapa orang laki-laki yang sedang berbincang-bincangan dengan Udo.
 
     " Buyung telah hilang. Enggak tahu kemana, Do!"

     " Bidan tu juga menghilang pulo!"

     " Jorong ko, kacau balau gara-gara bidan tu!" Beberapa warga sedang sibuk berbincang dengan asumsinya masing-masing.

     " Indak usah suuzan seperti itu, sebaiknya kita cari saja bersama-sama," jawab Udo pada semua warga.

     " Iya, betul itu! Sebaiknya kita berpencar untuk mencari mereka," kata seorang warga.

     Hampir seluruh warga keluar dari rumahnya masing-masing dan berpencar menjadi empat kelompok. Mereka sibuk mencari bidan dan Buyung yang menghilang.

🐦🐦🐦

Lanjut kepart selanjutnya...
🤣🤣

     

MAK TUO { LENGҞAP √ √} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang